SALATIGA, Arcus GPIB – Revolusi digital dan artificial intelligence (AI) tidak hanya berdampak individual melainkan juga dan terutama berdampak struktural. Keputusan-keputusan etis yang diambil berdasarkan penciptaan AI harus berdasarkan pertimbangan structural.
Tegas disampaikan Pdt. Prof. Emanuel Gerrit Singgih, Ph.D bahwa AI termasuk google bukan segalanya, dan bukan pencipta alias Tuhan.
“Kalau kita mengakui bahwa Tuhan masih lebih luas dan melampaui agama atau teologi, maka kita bisa menilai AI juga Mbah Google sebagai ciptaan, bukan sebagai pencipta,” tutur Guru Besar UKDW Yogyakarta.
”Kesadaran ini penting karena mencegah pemberhalaan AI menjadi Allah. Maka bahasa kita mengenai kemahakuasaan Tuhan barangkali perlu disesuaikan dengan era digital.”
”Kalau mbah Google tahu segala sesuatu, maka rujukan kita kepada Tuhan sebaiknya jangan lagi “Tuhan yang maha tahu” sebab Mbah Google sudah maha tahu. Jangan lagi “Allah kita luar biasa” karena AI sudah luar biasa!”
”Usul saya kita menggunakan ungkapan-ungkapan mistik-spiritual kepada Tuhan, seperti yang ada di Alkitab, misalnya Allah yang pengasih dan penyayang, Allah yang membenci dusta (hoax) dan menyukai kebenaran.”
”Jadi dari Allah yang berkuasa atas kita ke Allah yang mencintai kita, sehingga kita juga boleh mencintai Dia. Semua sebutan yang sudah biasa bagi kita, tetapi menjadi aktual dalam era digital ini. Jadi paradigmanya pindah, dari gambaran Ilahi yang ‘kuat’ ke gambaran Ilahi yang ‘lemah’.”
Di Jepang, di mana robot AI mengerjakan dan menghasilkan produk yang lebih baik dari manusia, sehingga banyak orang di Jepang menjadi hikikomori (orang tidak diperlukan, tinggal menunggu mati).
”Hal itu mestinya membuat kita mempertimbangkan secara matang apakah kita begitu saja membangun otomatisasi industri berwujud (Jer. Gestalt) digital di dalam konteks di mana banyak orang yang memerlukan pekerjaan supaya bisa hidup dan dihargai (what is a person except his/her job?).”
”Menurut saya, AI oke saja, asal manusia dan alam (dan tentu saja, Tuhan!) tidak dipinggirkan. Orang yang terus berbicara mengenai kemajuan AI tanpa menghubungkannya dengan kerusakan ekologi masa kini bisa tidak peduli pada alam.
Jadi, apa bedanya manusia dengan AI? Menurut Prof. Emanuel Gerrit Singgih mengutip pandangan Binsar Pakpahan, Ketua STFT/STT Jakarta bahwa manusia punya hati, AI tidak punya.
“Supaya tidak menjadi homo digitalis, manusia harus mempertahankan akal sehatnya, jadi tetap menjadi homo rationalis,” tandasnya menyebutkan apa yang pernah disampaikan Fransisco Budi Hardiman dalam bukunya berjudul “Aku Klik Maka Aku Ada”.
“Budaya digital menjadi berbahaya kalau dikuasai oleh mereka yang mengklaim memiliki kebenaran. Kalau kita peduli pada kebenaran, maka bukan berarti kita tidak pernah salah, melainkan kita terbuka pada kemungkinan bahwa keyakinan kita bisa salah.” /fsp