Oleh: Dr. Wahyu Lay GPIB Cipeucang, Jonggol Bogor
UNTUK apa manusia hidup? Jawabannya sangat sederhana, yakni untuk mengejar kebahagiaan. Dimana orang menemukan kebahagiaan itu? Seorang beragama akan mengatakan “dalam mengabdi kepada Tuhan dan sesama.”
Tuhan bagi seorang beragama adalah nilai yang tertinggi, dan nilai tertinggi itu harus diwujudkan dalam kehidupan nyata,yakni kehidupan bersama dengan orang lain. Bagi seorang naturalis, ia akan melihat kebahagiaan dalam penghargaan dan perlakuan yang baik terhadap alam.
Seorang naturalis tulen akan mengatakan bahwa baginya kebahagiaan ditemukan dalam menjalankan hal yang kodrati, yakni yang alam berikan kepada kita. Setiap filsuf menjawabnya dengan cara yang berbeda-beda. Filsuf kuno seperti Sokrates, Plato dan Aristoteles menjawab dengan tegas mengatakan orang hidup untuk mendapat kebahagiaan.
Filsuf modern termasuk Descartes, F. Bacon, Thomas Hobbes, Machiavelle, Nietzsche sampai pemikir-pemikir filosofis yang masih hidup tetap mengakui kebenaran perkataan Sokrates, Plato dan Aristoteles. Letak Kebahagiaan Dimana letak kebahagiaan itu? Jawabannya sangat beraneka macam.
Orang hanya tahu bahwa kehidupan manusia bertujuan untuk mencapai kebahagiaan yang pada gilirannya kebahagiaan abadi. Hiruk pikuk politik sekarang ini, tidak lain tetap dalam konteks mencari kebahagiaan. Orang tidak ingin menjadi sengsara. Orang tetap menerima hidup ini terlalu mahal untuk disia-siakan, terlalu indah untuk diabaikan, terlalu dalam untuk seluruhnya diungkapkan dengan kata-kata.
Hidup bukanlah sebuah permen manis. Ia berada antara pahit dan manis, antara gelap dan terang, kasar dan substil. Seorang yang hidup di rumah mewah belum tentu lebih bahagia daripada seorang yang berada di bawah kolong jembatan Cawang. Ia tetap dapat tertawa dengan renyah.
Seorang yang selalu berbaring ditengah hiruk pikuk bunyi kendaraan bermotor bisa saja lebih tenang, daripada seorang yang menamakan diri pimpinan dari aneka macam usaha. Kebahagiaan tidak persis sama dengan kenikmatan. Manusia tidak hanya sebatas badannya, tetapi juga daya rohaninya.
Daya rohaninya perlu dipuaskan pula. Tubuh yang baik tidak menjamin orang merasa bahagia. Orang menjadi risau dan terganggu kehidupannya jika hubungan dengan sesama menjadi kacau, jika ia tidak menemukan nilai tertinggi dari kehidupannya. Kebahagiaan terjadi, jika ada hubungan yang harmonis antara tiga dimensi: sesama, alam dan Tuhan.
Tiga Dimensi Hidup adalah sebuah pergulatan. Pergulatan dilingkupi oleh tiga dimensi, yakni dimensi fisik, dimensi manusia dan dimensi religius. Mengabaikan salah satu dari tiga dimensi itu orang tidak akan merasa bahagia. Seorang yang segar bugar karena sering berlatih di fitness center tetapi ketika pulang ke rumah ia menggebu, banyak orang di jalan, ia tidak menjadi manusia yang bahagia.
Orang yang membantu orang lain terus menerus tetapi tidak mempunyai waktu untuk berdoa dan untuk makan, ia juga tidak merasa bahagia . ia kaya dengan rumah, mobil tetapi semuanya hasil curian, ia tidak merasa bahagia yang sungguhsungguh. Via media, via aurea kata orang Latin. Jalan tengah adalah jalan emas.
Banyak orang menjadi kaya karena menindas orang lain. Hidup ditunjang oleh momen-momen kekaguman, didorong oleh harapan dan diilhami oleh yang misteri. Kejengkelan, putus asa, kemarahan, kegagalan, putus asa, kemarahan, kegagalan bukan bentuk dari kehidupan yang ideal. Kebahagiaan muncul dalam optimisme. Optimisme atau berfikir positif menjadikan hidup ini ringan.
Optimisme hanya mungkin terjadi jika orang tetap mengagumi betapa indah bersama. Betapa eloknya alam raya dan betapa agungnya Tuhan. Perkelahian menjadikan hdup bersama tidak indah lagi. Di sana hanya ada kebencian, iri hati, dan saling menindas. Kemanusiaan yang seharusnya dijunjung tinggi dinodai oleh kerasukan harta atau kekuasaan kita.
Alam yang sebenarnya memberikan manusia rasa damai, kini menjadi monster yang menakutkan. Air jernih tidak mengalir lagi, daun-daun pohon meranggas, tanah-tanah tandus mencuat. Semua menjadikan hidup ini gersang dan malahan menakutkan. Jika orang tidak mearasakan keagungan Tuhan, ia mengalami hidup yang datar.
Kekaguman yang paling mendalam dalam hidup tidak terpenuhi lagi. Hidup tanpa kekaguman pada sang misteri menjadikan hidup ini bagaikan rumah di atas pasir. Orang gampang rubuh dan terbawa arus. Tak Terkatakan Kebahagiaan ditemukan dalam kekaguman. Seorang yang bahagia ialah orang yang menjalani kehidupan dan akhirnya sampai pada kesimpulan yang tak terkatakan.
Ia merasa kan hidup ini begitu dalam. Orang tidak cukup memikirkannya tetapi hendaknya memahaminya. Orang tidak cukup memahaminya tetapi menangkapnya secara keseluruhan. Jika orang sampai pada keadaan “menangkap secara keseluruhan”, ia tahu bahwa ia sudah sampai di batas. Pada batas itu ia hanya diam dan mengagumi.
Ia tidak memahami kehidupan secara tuntas. Ia tidak mengerti lika-liku kehidupan banyak orang. Hidup memang tidak untuk dimengerti seluruhnya. Ia bukanlah objek seperti batu yang dapat ditangkap dan dibelah oleh manusia. Semua ilmu pengetahuan tidak mungkin sampai menganalisis kehidupan secara memadai.
Hal itu bukan karena hidup itu rumit, tetapi karena hidup ini tetap menyimpan di dasarnya nilai yang memang tidak terkatakan, yakni hubungannya dengan Tuhan. Kita perlu memahami kehidupan (to understand), tetapi pemahaman tidak pernah membuat kita memahami seluruh kehidupan.
Saya memahami kehidupan berarti saya tidak mengerti seluruh hubungan yang saya buat dalam kehidupan. Dengan kata “memahami” kita mau mengatakan bahwa kita mengetahui arti kehidupan, tetapi tetap kita tidak tahu seluruhnya. Kagumilah sesamamu, kagumilah alam dan kagumilah Tuhan! Disana orang akan menangkap kehidupan secara keseluruhan dan disitu ia menemukan kebahagiaan.
Orang boleh berilmu setinggi langit, tetapi pada akhirnya ia harus sampai pada kekaguman. Hidup perlu kritis, tetapi sikap kritis tidak boleh menghilangkan rasa kagum. ***