Kerapuhan, kerentanan mereka yang mudah pecah, hancur sehingga kasus bunuh diri anak-anak ini makin besar inilah yang saya sebut keterlantaran spiritual.
SALATIGA, Arcus GPIB – Keresahan sangat dirasakannya menyikapi kondisi gereja saat ini. Gereja tidak lagi menjadi pusat perjumpaan, gereja tidak lagi menjadi rumah bagi warganya.
”Tidak mudah menjadi gereja hari ini. Dulu gereja adalah the center of community, entitas sosial orang untuk berjumpa dan siklus kehidupan berpusat disana. Tapi tidak dengan gereja hari ini.”
Mengatakan itu Pendeta Dr. Agus Wahyuning Mayanto, Ketua Sinode Gereja Kristen Muria Indonesia (GKMI) saat menyampaikan renungan pada ibadah penutupan Persidangan Sinode Tahunan (PST) 2025 yang digelar di kampus UKSW Salatiga, Sabtu (15/03/2025.)
Menurutnya, gereja hari ini hanya sekadar sampingan, dan sekadar alternatif dari sekian pilihan yang ada. Tidak mudah menjadi pendeta hari ini kaitannya untuk menghadirkan anak-anak muda untuk mau ke gereja.
”Saya sedih ketika saya melayani di beberapa negara. Di Kanada saya sudah mempersiapkan khotbah tapi yang datang orang-orang tua dan satu anak kecil itu pun anak Asia,” ungkapnya.
Kepada Frans S. Pong dari Arcus GPIB, Pendeta Agus mengatakan, anak-muda generasi Z sedang tidak baik-baik saja. Ada turbulensi dan kontraksi yang membuat mereka rapuh karena kesalahan orangtua.
“Hari ini anak-anak muda kita mengalami situasi yang tidak mudah, ada turbulensi dan kontraksi yang sangat besar . sehingga itu membuat mereka confuse,” tutur Pendeta Agus.
Dikatakan, orang membuat kebenarannya sendiri di media sosial membuat anak-anak ini mengalami masa-masa yang tidak mudah.
“Kerapuhan, kerentanan mereka yang mudah pecah, hancur sehingga kasus bunuh diri anak-anak ini makin besar inilah yang saya sebut keterlantaran spiritual belum lagi kalau ngomong identitas, tidak ada identitas yang fix hari ini, karena identitas mereka sudah terpecah-pecah sekaligus habis bercampur baur tidak karuan.”
Catatan Arcus GPIB mengutip laman trending.co.id tren bunuh diri meningkat baik dikalangan orang dewasa maupun dikalangan remaja pelajar. Berdasarkan data Pusat Informasi Kriminal Nasional (Pusiknas) Kepolisian RI (Polri), ada 971 kasus bunuh diri di Indonesia sepanjang periode Januari hingga 18 Oktober 2023. Angka itu sudah melampaui kasus bunuh diri sepanjang 2022 (900 kasus).
Dan berdasarkan data dari Pusat Informasi Kriminal Nasional (Pusiknas) Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI (Bareskrim Polri) angka kasus bunuh diri ini terus meningkat setiap tahun. “Bahkan sepanjang Januari Oktober 2024, angka kasus bunuh diri telah menyentuh angka 1.023 kasus,”
Mengatasi itu, Pendeta Agus meminta gereja harus sungguh-sungguh melihat persoalan tersebut dan mencari apa yang mereka butuhkan.
”Generasi muda perlu patron, mereka perlu otoritas tapi juga solidaritas. Nah, kesalahan kita hari ini seringkali hanya mengejar otoritas tapi tidak solidaritas, padahal tongkat penggembalaan itu satu sisi tentang otoritas tapi disisi lain tentang solidaritas.”
“Anak-anak hari butuh contoh, butuh patron, butuh rumah perteduhan, dan gereja harus menjadi rumah perteduhan bagi mereka.”
“Ada kehausan yang dalam, ada kerinduan dalam yang justru sangat relate dengan mereka bahwa looking for home, merindukan rumah. Kalau generasi Gen Z disebut generasi lembek, mental krupuk itu karena produk kita. Siapa yang salah.”
Menurut Pendeta Agus, kalau anak-anak muda saat ini mengalami turbulensi dan kontraksi kencang itu karena kesusahan yang mereka rasakan karena resources telah habis dan hanya tinggal sisa-sisa yang pada akhirnya mereka akan berjuang untuk mendapatkan pekerjaan.
“Turbulensi global menghantam mereka,” kata Pendeta Agus sembari menyebut riset yang diterbitkan Bilangan Researh Center (BRC). /fsp