Sejak semula kekristenan itu progresif dan sampai sekarang masih progresif. Jika kekristenan tidak progresif maka sudah lama jadi almarhum.
JAKARTA, Arcus GPIB – Dunia maya dalam beberapa hari terakhir ramai dengan paparan sebuah aliran yang disebut sebagai ”Kristen Progresif” yang memandang bahwa Yesus Kristus bukan satu-satunya Juruselamat. Aliran ini juga percaya bahwa seseorang dapat menjadi Kristen dengan memiliki hati yang baik, tanpa harus aktif bergereja atau persekutuan.
Terhadap aliran Kristen Progresif itu, Arcus GPIB meminta pendapat dua orang pendeta GPIB yakni Pendeta Sylvana Maria Apituley dan Pendeta Nicodemus Boenga.
Menurut Pendeta Sylvana aliran Kristen Progresif itu bukan ide atau praktik baru dalam sejarah kekristenan juga bukan barang baru. Bagi Pendeta Nicodemus kekristenan itu memang harus progresif, kalau tidak progresif ia mati.
”Kelompok yang mengaku dan menamai dirinya “Kristen Progresif”(KP) ini juga tidak jelas dalam menggunakan terminologi “kekristenan yang umum”, maksudnya kekristenan yang mana,” tanya Pendeta Sylvana.
Ada puluhan ribu denominasi kristen di dunia dengan kekhasan masing-masing. Mungkin kelompok KP baru belajar tentang pentingnya nalar kritis dalam beriman atau beragama.
Diharapkan, kata Pendeta Sylvana, kelompok KP ini juga paham pentingnya metode-metode tafsir dan hermeneutik dalam membaca Alkitab dan memahami ajaran gereja.
Ambil Positifnya
“Kita sekarang hidup di era digital, maka berita tentang kelompok ini cepat tersebar dan jadi viral. Dan masyarakat mungkin lebih suka memviralkan hal-hal yang terdengar atau seolah-olah baru kontroversial.”
“Dalam konteks kita yang didominasi dengan Informasi populer dan serba instan, info-info seperti ini biasanya cepat viral tetapi umurnya gak panjang, bentar jadi tidak menarik lagi karena ada berita lain yang lebih kontroversial,” tutur Pendeta Sylvana.
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) tersebut mengajak gereja pada umumnya untuk melihat sisi positif dari sebuah kejadian yang ada di masyarakat.
“Kalau mau ambil positifnya, gereja-gereja, termasuk GPIB, mungkin perlu lakukan otokritik atau self evaluation. Apa yang penting dan perlu direfleksikan dari fenomena-fonomena baru di masyarakat, termasuk di kalangan orang-orang muda Kristen atau gereja saat ini?”
“Soal nalar kritis dan responsif terhadap kebutuhan zaman, misalnya, pada awal tahun 2000-an saya mengenalkan metode Reading Bible with New Eyes kepada teman-teman Pendeta GPIB. Suatu metode memahami Alkitab yang lahir dari pengalaman iman komunitas basis yang termarjinalkan, terabaikan atau bahkan tertindas dalam jemaat atau masyarakat.”
”Metode ini, kata Pendeta Sylvana, dikembangkan dan didiseminasi ke seluruh Asia oleh CCA. Saya dilatih oleh CCA dan PGI pada tahun 1997, dan mulai mengenalkan ke teman-teman Pendeta GPIB sesudah saya ditahbiskan tahun 2002.
Tapi respon awal saat itu lumayan negatif, beberapa orang menganggap tidak penting, bahkan dijadikan bahan olok-olok, membaca Alkitab dengan mata jereng. Padahal, jika metode-metode tafsir dan hermeneutik diterapkan dalam membaca Alkitab sehari-hari, maka masalah-masalah yang disebut oleh kelompok KP di Instagram mereka bisa dengan mudah diketahui jawabannya.
Misalnya, soal bagaimana memahami teks tentang tokoh-tokoh Alkitab yang berpoligami, kaitannya dengan teks lain, bukan hanya Kejadian, tentang suami-istri yang seolah terdengar monogamis dan kaitannya dengan perkawinan di era modern bahkan digital hari ini.
Warga gereja yang terbiasa terpapar dengan metode tafsir dan hermenutik kritis relatif tidak mengalami kesulitan dalam memahami atau tidak kaget saat menemukan teks-teks yang kontradiktif seperti itu.
“By the way, metode Reading Bible with New Eyes itu dulu jadi mata kuliah khusus di STT Jakarta, 2 dari 3 dosennya asal GPIB, yakni Pendeta H. Ongirwalu Alm dan saya,” imbuh Pendeta Sylvana.
Kekristenan itu Progresif
Senada dengan dengan Pendeta Sylvana Apituley, Pendeta Nicodemus Boenga mengatakan, pada dasarnya segala sesuatu di dunia ini mengalami progres. Walau tingkat progresifitasnya memiliki kadar yang berbeda beda.
“Sejak semula kekristenan itu progresif dan sampai sekarang masih progresif. Jika kekristenan tidak progresif maka sudah lama jadi almarhum,” kata Pendeta Nicodemus.
Jadi, kata dia, tidak ada masalah dengan soal kristen progresif. Yang jadi soal ialah kesesatan dalam beriman dianggap bagian dari progresifitas. Menjadi kristen progresif bukan berarti hari ini kuda besok jadi kambing, lusa jadi kadal.
Dalam beriman ada aspek yang bisa berubah dan progresif sebagai bagian dari upaya kontekstualisasi tetapi ada yang tidak bisa berubah ubah.
“Kita tidak bisa menganggap bahwa hari ini Yesus Tuhan dan Juruselamat dunia lalu besok tidak. Kita juga tidak bisa berkata hari Alkitab adalah kanon dan besok lain lagi. Jadi jika progresif ditafsir mengganti Yesus dari posisinya sebagai Tuhan dan Juruselamat dunia satu satunya saya tidak ikutan,” tutur Pendeta Nicodemus, KMJ Bahtera Kasih, Bekasi.
”Saya sangat percaya bahwa tidak ada manusia yang bisa selamat karena Budi baiknya sendiri. Alkitab bilang semua sudah berdosa dan kehilangan kemuliaan Allah. Perbuatan baik manusia tidak lebih dari kain kotor di hadapan Tuhan.”
Karena itu, lanjut Pendeta Nicodemus, semua orang butuh Anugerah Tuhan untuk selamat. Karena itu gereja di utus memberitakan Injil kepada semua makhluk supaya semua makhluk tahu bahwa Allah sudah menyelamatkan mereka di dalam dan melalui Yesus. Siapa yang mendengar Injil biar membuka diri untuk menerima keselamatan yg telah di anugerahNya.
1 Yohanes 5:11-12 (TB) “Dan inilah kesaksian itu: Allah telah mengaruniakan hidup yang kekal kepada kita dan hidup itu ada di dalam Anak-Nya. Barangsiapa memiliki Anak, ia memiliki hidup; barangsiapa tidak memiliki Anak, ia tidak memiliki hidup”.
Jadi, menerima Yesus di sini sama dengan menerima kenyataan bahwa kita hanya bisa selamat oleh anugerah Allah, bukan oleh amal kebajikan kita sendiri. Dalil ini tidak berlaku bagi mereka yg belum mendengar Injil keselamatan dari Tuhan.
Bagi mereka yg belum mendengar Injil berlaku hukum hati nurani. Tuhan akan menghakimi dengan adil sesuai hati nurani mereka masing masing.
Roma 2:6-16 (TB) “Ia akan membalas setiap orang menurut perbuatannya, yaitu hidup kekal kepada mereka yang dengan tekun berbuat baik, mencari kemuliaan, kehormatan dan ketidakbinasaan,
tetapi murka dan geram kepada mereka yang mencari kepentingan sendiri, yang tidak taat kepada kebenaran, melainkan taat kepada kelaliman.
Penderitaan dan kesesakan akan menimpa setiap orang yang hidup yang berbuat jahat, pertama-tama orang Yahudi dan juga orang Yunani,
tetapi kemuliaan, kehormatan dan damai sejahtera akan diperoleh semua orang yang berbuat baik, pertama-tama orang Yahudi, dan juga orang Yunani.
Allah Tidak Memandang Bulu
Sebab semua orang yang berdosa tanpa hukum Taurat akan binasa tanpa hukum Taurat; dan semua orang yang berdosa di bawah hukum Taurat akan dihakimi oleh hukum Taurat.
Karena bukanlah orang yang mendengar hukum Taurat yang benar di hadapan Allah, tetapi orang yang melakukan hukum Tauratlah yang akan dibenarkan.
Apabila bangsa-bangsa lain yang tidak memiliki hukum Taurat oleh dorongan diri sendiri melakukan apa yang dituntut hukum Taurat, maka, walaupun mereka tidak memiliki hukum Taurat, mereka menjadi hukum Taurat bagi diri mereka sendiri.
Sebab dengan itu mereka menunjukkan, bahwa isi hukum Taurat ada tertulis di dalam hati mereka dan suara hati mereka turut bersaksi dan pikiran mereka saling menuduh atau saling membela.
Hal itu akan nampak pada hari, bilamana Allah, sesuai dengan Injil yang kuberitakan, akan menghakimi segala sesuatu yang tersembunyi dalam hati manusia, oleh Kristus Yesus. /fsp