Home / Germasa

Senin, 24 Maret 2025 - 17:38 WIB

MESIASNYA BUKAN YESUS? Menyikapi Perbedaan Ajaran Dalam Dialog Lintas Iman

Pdt. Boydo Hutagalung bersama koleganya saat berbuka puasa bersama.

Pdt. Boydo Hutagalung bersama koleganya saat berbuka puasa bersama.

Oleh: Pdt. Boydo Rajiv Hutagalung, Pendeta Jemaat GPIB Marga Mulya, Yogyakarta

SETIDAKNYA tiga tahun belakangan kami di GPIB Marga Mulya Yogyakarta memiliki jalinan kebersamaan dengan Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) yang ada di Yogyakarta. Kami beberapa kali diundang di acara-acara JAI dan sebaliknya GPIB MM sering mengundang JAI.

Tahun ini, kali ketiga saya (mewakili GPIB MM) menghadiri acara di Jemaat Ahmadiyah Indonesia di Yogyakarta. Seperti tahun lalu, Minggu 23 Maret 2025, kemarin saya diundang ke acara Pengajian dan Buka Bersama.

Rupanya Bukber kali ini sekaligus dalam rangka “Peringatan Hari Masih Mau’ud a.s.” Setelah pembacaan ayat Al Qur’an, materi pengajian disampaikan Bapak Abdul Rozzaq. Beliau menjelaskan bahwa Masih Mau’ud adalah memperingati janji kedatangan Almasih di akhir zaman. Wow! Kaget juga saya. Apakah ini “Advent” ala Ahmadiyah?

Dalam materi dijelaskan secara ringkas tentang konsep Almasih khususnya yang dipahami oleh Ahmadiyah. Saya serius menyimak apalagi karena sedikit sekali pengetahuan tentang Ahmadiyah. Rupanya dalam keyakinan Ahmadiyah, yang dimaksudkan dalam nubuat tentang kedatangan Almasih dan Imam Mahdi itu adalah Mirza Ghulam Ahmad, tokoh pendiri Ahmadiyah.

Tentu ini sangat berbeda dengan keyakinan Iman Kristen yang mengimani pemenuhan janji kedatangan Almasih/Mesias adalah pada diri Yesus. Karena mengetahui saya, Pdt. Elga Sarpung, dan beberapa undangan lainnya adalah Kristen, pemateri menyampaikan mohon maaf karena penyampaian tersebut berbeda keyakinan dengan umat Nasrani.

Baca juga  KONFERDAL Germasa GPIB di Singkawang Digelar, Wamenag Dipastikan Hadir

Dalam kegiatan-kegiatan lintas agama yang jujur dan bersahabat, kami membiasakan diri untuk memegang teguh prinsip keyakinan iman masing-masing. Bahkan kami tak sungkan (tentu dengan ungkapan yang rendah hati dan berhikmat) mempersaksikan apa yang menjadi ajaran dalam agama kami kepada saudara beragama berbeda.

Tetapi, hal itu tidak menghambat kami untuk menjalin persaudaraan. Kami mencoba memahami apa yang bermakna bagi saudara kami yang berbeda keyakinan. Lalu turut merefleksikan pula dalam konteks keyakinan agama masing-masing. Dengan demikian kami mengenali nilai luhur pada saudara kami dan sekaligus semakin mengenali dan menghayati nilai luhur pada agama sendiri. Lebih jauh, kami lebih memfokuskan diri untuk mendiskusikan persoalan-persoalan bersama dan mengupayakan kerja sama untuk menindaklanjutinya.

Jalan dialog dintas iman memang tidak mudah, karena diharapkan seseorang perlu cukup memiliki pemahaman terhadap iman sendiri dan berkomitmen kepada keyakinannya. Ia juga harus memiliki spirit keterbukaan dalam pergaulan lintas iman. Ia  harus memiliki kemauan untuk memahami dan menghormati yang berbeda agama. Serta hendaknya memiliki rasa antusias untuk berkolaborasi dengan yang berbeda agama.

Setelah pemateri menjelaskan perihal Almasih dalam perspektif Ahmadiyah, ada beberapa narasumber lain yang diminta menyampaikan refleksinya. Dr. Muhammad Shodiq (dari UIN Sunan Kalijaga) menyampaikan pentingnya komunitas keagamaan untuk bukan sekadar berilmu tetapi mewujudnyatakan dalam tindakan-tindakan kemanusiaan universal.

Selaras dengan itu Pdt. Elga Sarapung (dari Interfidei) juga menyemangati agar pemahaman iman harus diamalkan dalam persaudaraan lintas iman dan kerja-kerja kemanusiaan serta kelestarian lingkungan hidup. Selain itu Ibu Listia (dari Pappirus) menyampaikan bahwa sudah saatnya umat beragama di Indonesia jangan lagi terlalu sibuk mempersoalkan perbedaan tafsir tapi seharunya lebih mengutamakan apa yang bisa kita raayakan bersama untuk berbagai persoalan kemanusiaan.

Baca juga  PGI, Kemenko PMK dan Majelis Sinode GPIB Tanam Pohon Di GPIB Immanuel Batam

Acara dilanjutkan dengan doa bersama menurut keyakinan agama masing-masing dan makan-minum bersama. Sambil menikmati takjil, saya berbincang dengan tiga bapak yang duduk di dekat saya. Mereka membahas tentang beberapa masalah diskriminasi terhadap jemaat Ahmadiyah di beberapa daerah di Indonesia belakangan ini. Misalnya, pemerintah yang melakukan pembatalan pertemuan tahunan (Jalsah Salanah) Jemaat Ahmadiyah Indonesia 2024 di Manislor, Jawa Barat dan Pengusiran terhadap Jamaah Ahmadiyah Indonesia di Lombok, Nusa Tenggara Barat.

Dalam diskusi tersebut, ketiga bapak yang berasal dari komunitas yang berbeda ini berpendapat, masalah yang menimpa JAI kebanyakan diperburuk oleh pemerintah setempat yang memihak kepentingan kelompok mayoritas alih-alih menegakkan hukum.

Perjumpaan lintas iman selalu memberi kesegaran spiritualitas bagi saya, karena dalam dialog lintas iman saya menemukan bagaimana sesama menghayati imannya, mengekspresikannya dalam religiusitasnya, serta menggumuli berbagai persoalan kemanusiaan dan alam ciptaan.

Semoga spiritualitas yang dihidupi oleh setiap penganut agama akan berdampak pada karya kemanusiaan dan ekologis yang membebaskan. ***

Share :

Baca Juga

Germasa

Dari POK Germasa Angkatan I/2023: Memaksimalkan Peran Pendeta

Germasa

Peserta Konsultasi Sinodal Ekologi Tanam Pohon Matoa di Tahura SSH

Germasa

Relasi Lintas Agama Harus Terus Digaungkan dan Dikerjakan, Vikaris Karen Puimera: Rekonsiliasi

Germasa

Bagaimana Indonesia Bangkit, Ini Saran Birokrat, Ekonom, Psikolog dan Pendeta

Germasa

“Heritage Day” Merayakan Keberagaman Asal Usul Bangsa Afrika Selatan

Germasa

Kisruh Di GMKI, GPIB Tempuh Jalur Hukum, Ada Pencemaran Nama Baik 

Germasa

Booth UMKM Ulos Banyak Peminat

Germasa

Mereka yang Ada Dibalik Acara Eco Church GPIB Di Kaltim