Oleh: Dr. Wahyu Lay, GPIB Cipeucang Jonggol, Jawa Barat
DALAM aliran fenomenologi sering dipaparkan tentang manusia dan “dunianya”. Yang dibahas adalah tema-tema utama seperti: manusia hidup di dunia ini; ataupun: manusia bertransendensi terhadap dunia ini, meskipun dalam keterlibatan dengan dunia dengan secara beraneka ragam. Dalam kop pasal ini di atas istilah “dunia” diapit antara tanda kutipan;
Bahkan hubungan manusia dan dunia tampaknya memberi manusia suatu “prioritas”, karena “dunia” tsb. Dibuat menjadi tema sebagai “duniaNYA” manusia itu. Kita jarang membaca tentang “Dunia dan manusianya”: dunia tidak “memiliki” manusia, sedangkan dalam salah satu arti boleh dikatakan bahwa dunia ini seakan-akan “dimiliki” oleh manusia.
Tentunya ungkapan seperti “manusia dan dunianya” secara implisit menyatakan bahwa manusia bertransendensi terhadap dunia (entah bagaimana hal itu dianalisis dengan lebih mendetil).
Yang penting disini untuk kita sekarang ini ialah: apa yang dinyatakan, secara implikasi, dengan istilah “dunia” itu. Dalam hal ini pendekatan “strukturalistis” (d) rupa-rupanya ada manfaatnya, sampai pada taraf tertentu. Pendekatan “strukturalistis” menyelidiki arti dari suatu konsep dengan menyelidiki hubunganhubungannya dengan konsep-konsep lain.
Dalam hal ini bisa ditanyakan lawannya “dunia” itu apa. “Dunia”, ataupun “yang duniawi”; jadi jelas istilah “dunia”, sedikitnya secara implisit, mengandung unsur “religius” di dalamnya. Dalam bahasa latin pernah untuk “dunia” dipakai istilah “saeculum:, yang artinya lebih menyangkut dimensi ruang: saeculum adalah apa yang akan berakhir, yang fana. Istilah latin yang lain adalah “mundus”, dan kata ini juga sering membawa arti yang dekat pada pengalaman religius (dalam hal ini justru sering: yang TIDAK “sakral”!).
Dalam Kitab Suci Kristiani, Injil yang Keempat, “dunia” itu hampir sama dengan apa yang sejak St. Agustinus disebut “dosa asal”. Bagaimanapun juga, istilah “dunia” hampir selalu diasosiasi dengan manusia: bandingkan saja “di seluruh dunia” (artinya, dimana saja ada manusia) dengan “di seluruh bumi” (meliputi juga bagian tempat tak ada manusia).
Arti religius ( atau “kripto-religius”, artinya religius secara implisit) dari “dunia” dalam fenomenologi dewasa ini tentu saja sudah “disekularisasikan” (artinya arti religius sudah dihilangkan, sedikitnya secara eksplisit), tetapi “arti” fenomenologis “dunia” itu tetap ialah bahwa manusia hidup di dalamnya, dan memang manusia yang seakan-akan merupakan “pusat” dunia itu: manusia menjadi “raja” dunia ini.
Dan penafsiran itu sekali lagi bersifat “kripto-religius” karena menyatakan transendensi manusia terhadap “dunianya”. Perhatikanlah bahwa juga secara eksplisit kita menemukan arti religius itu: mis.
Dalam Kitab Suci Yahudi-Kristiani, Kitab Kejadian pasal 1, manusia dilukiskan sebagai makhluk yang luhur yang diciptakan “menurut citra Allah”.