JAKARTA, Arcus GPIB – Ketua Umum Majelis Sinode Pdt. Drs. Paulus Kariso Rumambi, M.Si berharap aset-aset GPIB di tempat-tempat strategis bisa dibedayakan dengan baik dan optimal.
“Pengelolaan sumber daya gereja itu juga aset-aset GPIB yang banyak terletak di tempat-tempat yang strategis memang belum optimal diberdayakan. Itu juga menjadi PR kita, tantangan kita,” ungkap Pdt. Rumambi dalam acara Didakhe mengangkat tema “Gereja Bagai Bahtera” (HUT GPIB ke-74) Selasa (15/11/2022).
Dalam acara yang dipandu Pdt. Meilanny Risamasu, Pdt. Rumambi menginginkan agar unit-unit terkait di GPIB bisa fokus untuk memaksimalkan dan mengoptimalkan pengelolaan sumber daya gereja termasuk aset-aset GPIB yang berada di lokasi-lokasi strategis.
“Memang ada BUMG, Badan Usaha Milik Gereja. Namun juga tetap ada dalam pergumulan untuk pemanfaatan aset-aset GPIB kedepan,” tutur Rumambi.
Menurutnya, dalam pemanfaatan BUMG dalam hal pengelolaan sumber daya gereja dan aset-aset GPIB belum ada keselarasan yang berakibat tarik menarik.
“Masih ada semacam tarik menarik juga diantara kita bagaimana, misalnya, dengan sistem BOT 20, 30 tahun, memang harus orang-orang profesional yang menjelaskan kepada para presbiter supaya benar-benar bisa dicerna dengan baik,” ujar Rumambi.
“Kalau tidak dijelaskan dengan meyakinkan, sulit juga BUMG memberdayakan aset-aset kita yang sangat strategis. Paling tidak itulah beberapa tantangan internal kita.”
Masalah pandemic juga menjadi perhatian GPIB. Pandemi menurut Rumambi, cukup menjadi perhatian kaitannya dengan digitalisasi yang menuntut gereja untuk berubah.
“Pandemi mengubah dan mempengaruhi gereja seluruhnya termasuk kita GPIB. Bagaimana kita harus melihat kembali pelayanan, model peribadahan online yang sama sekali belum pernah kita pikirkan, dan bagaimana penatalayanan bisa berlangsung di era digitalisasi,” ucapnya.
Model peribadahan dan penatalayanan digitalisasi sekarang ini yang dilakukan secara online ada segi positifnya tapi juga negatifnya juga ada. Karenanya, perangkat-peragkat teologi dan produk gerejawi harus baik.
“Secara internal sosialisasi perangkat-perangkat teologi, produk-produk gerejawi kita yang belum optimal, ini karena kita punya, medan pelayanan yang sangat luas di 26 provinsi, keberagaman yang luar biasa sehingga persepsi masing-masing bisa menerima produk-produk gerejawi, perangkat-perangkat teologis itu masih harus ditingkatkan lagi sehingga bisa mengatasi kesenjangan internal di dalam persekutuan jemaat,” kata Rumambi.
“Itu juga Yang menjadi tantangan internal kita, semacam ambivalensi antara tugas Diaken Penatua, mereka juga punya tugas utama juga selain sebagai presbiter, pemimpin umat tapi juga harus melaksanakan tugas dan tanggung jawab pekerjaannya, usahanya, ini tetap menjadi tanggung jawab internal.”
“Kemajuan iptek yang tidak diimbang dengan mengintegrasikan nilai-nilai kebajikan yang bisa memiliki dampak yang positif itu perlu digalakkan, diupayakan kemajuan teknologi ini.”
Menurut Rumambi, selain internal, GPIB juga menghadapi tantangan eksternal yang saat ini dihadapi masyarakat dunia pada umumnya yaitu perang proxy.
“Tantangan eksternal kita krisis global, krisis ekonomi, krisis lingkungan hidup. Kita sedang dipertontonkan dengan KTT G20 bagaimana bisa rocover together, recover stronger, harus bersama-sama berkolaborasi, bersinergi dengan yang lain karena yang kita hadapi bukan lagi perang-perang militer tapi perang proxi.”
Perang proxy, kata Rumambi, bisa dipakai sebagai senjata, misalnya demokrasi, krisis lingkungan hidup, dan hak-hak asasi manusia (HAM). Semua ini bisa dipakai untuk menghantam negara-negara berkembang.
“Globalisasi juga tantangan eksternal kita, covid-19, revolusi industri, Four Point Zero, belum lagi kita semakin mengandalkan teknologi yang membuat Kita semakin individualistik, kita semakin kurang beretika. Belum lagi kita menghadapi fundamentalisme, radikalisme. Itu yang akan tetap dihadapi oleh kita, apalagi akan memasuki Pemilihan 2024.”
Dalam kesempatan yang sama, program acara Didakhe yang dikelola Departemen Teologia GPIB ini, selain menghadirkan Ketua Umum Majelis Sinode GPIB Pdt. Drs. Paulus Kariso Rumambi, M.Si juga menghadirkan narasumber presbiter GPIB Eben Heizer Samarinda Kaltim Pnt. Stivan M. Picasouw yang membuka kisah Pos Pelkes Barong Tongkok.
Menurut Stefen, untuk mencapai Pos Pelkes Barong Tongkok Kutai Barat lewat darat 12 jam dari Samarinda . Sedangkan kalau melalui sungai sehari semalam. “Berangkat pagi, besok pagi baru sampai,” tutur Stefen.
Di Pos Pelkes Barong Tongkok ini beragam warganya jemaatnya, Antara lain Ambon, Jawa, Batak, Manado, Dayak yan merupakan suku asli di Kutai ini. “Hampir setiap ibadah selalu ada penambahan warga baru,” imbuhnya. /fsp