SURABAYA, Arcus GPIB – Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS) ke-22 yang digelar di UIN Sunan Ampel Surabaya menghasilkan rumusan Surabaya Charter atau Piagam Surabaya.
Seperti dilansir laman Kemenag RI Kamis (04/05/2023) AICIS ke-22 tersebut menghasilkan enam rekomendasi yaitu:
- Rekontekstualisasi semua doktrin dan pemikiran keagamaan yang tidak sesuai dengan prinsip martabat manusia, kedamaian, dan keadilan.
- Menjadikan maqashid al-syariah (tujuan tertinggi hukum Islam) sebagai prinsip penuntun reformulasi fikih.
- Definisi, tujuan dan ruang lingkup fikih harus didefinisikan ulang atas dasar integrasi pengetahuan Islam, ilmu sosial dan hak asasi manusia untuk mengatasi masalah kontemporer.
- Menafsirkan ulang semua doktrin fikih yang mengkategorikan dan mendiskriminasi manusia atas dasar agama atau etnis, seperti konsep kafir dzimmy dan kafir, atau memandang selain muslim sebagai tidak setara dan warga negara kedua.
- Menolak penggunaan agama untuk kepentingan politik. Fenomena politik identitas, khususnya yang berbasis agama, harus ditolak keras.
- Memelihara keberagaman dalam hidup berdampingan yang toleran dan damai yang menerapkan prinsip moderasi, kesetaraan, dan keadilan beragama.
Forum AICIS yang dibuka Menag Yaqut Cholil Qoumas menghadirkan pembicara, antara lain: Dr (HC) KH Yahya Cholil Staquf (Indonesia), Prof Dr Siti Ruhaini Dzuhayatin, MA (Indonesia), Prof Abdullahi Ahmed An Na’im (Amerika Serikat), Prof Dr Usamah Al-Sayyid Al Azhary (Universitas Al Azhar di Mesir), Muhammad Al Marakiby, PhD (Mesir), Dr Muhammad Nahe’i, MA (Indonesia), Prof Dr Rahimin Affandi Bin Abdul Rahim (Malaysia), Prof Mashood A. Baderin (Inggris), Dr (HC) KH Afifuddin Muhajir (Indonesia), Prof Dr Şadi Eren (Turki), Prof Tim Lindsey PhD (Australia), Prof Dr Mohd Roslan Bin Mohd Nor (Malaysia), dan Ning Allisa Qotrunnada Wahid (Indonesia).
Untuk mengimplementasikan fikih sebagai sumber peradaban manusia, maka dituntut untuk menempatkan seluruh manusia sebagai mitra yang setara, bernilai dan aktif, bukan objek yang pasif.
“Semua pemimpin agama dan ulama memikul tanggung jawab membuat agama untuk kemanusiaan dan perdamaian,” tandas Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya. /fsp