JAKARTA, Arcus GPIB – Politisasi Agama disebut-sebut sumber penjajahan baru. Hal tersebut mengemuka dalam Seminar Kebangsaan 78 Tahun HUT Kemerdekaan RI, 60 Tahun HUT PIKI, 184 Tahun HUT Gedung Gereja Immanuel 25 Agustus 2023 di Gedung Gereja Immanuel Jakarta.
Terhadap hal tersebut Pendeta Prof. John A. Titaley, Th.D menyebutnya sebagai pelanggaran.
“Negara telah melanggar Alinea Pertama Pembukaan UU 1945,” kata John Titaley seraya menyebutkan, “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan”.
Kebijakan dengan penetapan agama yang diakui negara telah merampas kemerdekaan bangsa Dayak dengan agama Kaharingan mereka sebelum mereka bergabung dengan Negara Indonesia.
Menurut Titaley, perampasan kemerdekaan itu adalah bentuk penjajahan yang harus dihapus karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan peri keadilan.
Seminar Kebangsaan yang juga dihadiri Prof. Dr. Musdah Mulia, M.A, John Titaley mengungkapkan, “Dalam percakapan saya dengan Sekretaris Majelis Besar Agama Kaharingan (MBAHK) di Palangka Raya beberpa waktu lalu, dia mengatakan bahwa sebelum Indonesia Merdeka orang-orang Dayak yang beragama Kaharingan telah ikut berjuang untuk mencapai kemerdekaan Indonesia.”
Setelah Indonesia Merdeka, katanya, mereka lalu menjadi bukan orang Indonesia karena Kaharingan tidak termasuk agama yang diakui negara, kecuali menjadi Agama Hindu Kaharingan.
Kebijakan negara dalam bidang keagamaan telah mencabut status kemanusiaan mereka. Mereka merasa terjajah. Begitu pula keksaksian mahasiswa saya yang menjadi pendeta GPIB di pedalaman Kalimantan, anak-anak mereka tidak akan menjadi anak Indonesia kalau tidak menjadi penganut salah satu agama yang diakui negara.
Ini betul-betul bentuk kekerasan negara atas warga negaranya, karena politsasi agama yang dilakukan negara atas warganya yang ikut memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Hukum sebagai acuan kehidupan manusia. Indonesia adalah negara-bangsa modern yang pluralis, menuntut penyesuaian dari komunitas-komunitas agamawi yang monolitik dan eksklusif itu. /fsp