JAKARTA, Arcus GPIB – Tingginya angka kekerasan terhadap perempuan membuat banyak pihak mengambil sikap untuk turut serta memberi perhatian dalam hal penanganan terhadap korban-korban kekerasan serta menyatakan penolakan terhadap terjadinya kekerasan.
Ketua Dept. Germasa GPIB, Pnt. Alex Mandalika menyatakan secara tegas menolak kekerasan dalam bentuk apapun terhadap perempuan. Karena itu, pihaknya menerbitkan Deklarasi yang dibacakan bersama-sama disela-sela Diskusi Publik yang diadakan di GPIB Paulus Jakarta baru-baru ini.
Siti Aminah Tardi, dari Komisi Nasional Perempuan mengajak semua pihak juga gereja untuk bersama-sama mengambil langkah konkrit melakukan pencegahan dan mau memberi pendampingan terhadap korban.
“Pencegahan tindak pidana kekerasan seksual bisa dilakukan melalui bidang pendidikan dan agama. Ini bisa didiskusikan di teman-temen gereja. Semua pihak bisa berpartisipasi untuk pencegahan terjadinya kekerasan seksual di sektor pendidikan dan juga keagamaan,” kata Siti Aminah Tardi saat menyampaikan materi dalam diskusi publik itu yang dilaksanakan Dept. Germasa GPIB dan PGI.
Selain Siti Aminah Tardi, Diskusi Publik dengan Moderator Pdt. Herlin L. Kunu menghadirkan narasumber Pdt. Sylvana Apituley Pegiat Perempuan dan Anak, Endang Supriyati dari Yayasan Bandung Wangi, dan Irjen Pol (Purn) Alex Mandalika dan Penanggap Pdt. Sonya M. Uniplaita, Ka. Biro Perempuan dan Anak PGI.
Menurutnya, gereja bisa memberi bantuan kepada korban kekerasan dengan memberikan hak yang harus didapatkan. “Hak-hak Korban adalah penanganan, perlindungan dan pemulihan setelah proses peradilan,” tandas Siti.
Menyikapi tingginya kekerasa terhadap perempuan, Departemen Germasa GPIB pun mendeklarasikan 16 Hari anti kekerasan terhadap kaum perempuan (16HAKtP) yang dilaksanakan dari 25 November – 10 Desember setiap tahunnya.
Kampanye ini merupakan upaya menghapus segala bentuk kekerasan terhadap perempuan di seluruh dunia. Tujuan 16HAKtP untuk mengemangkan kondisi yang kondusif bagi penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan penegakan hak-hak asasi manusia perempuan di Indonesia.
Pelaksanakaan 16HAKtP juga untuk meningkatkan upaya pencegahan dan penanggulangan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan perlindungan hak-hak asasi perempuan.
Menanggapi kondisi kaitannya dengan kasus-kasus kekerasan perempuan, Pdt. Sonnya M. Uniplaita, Ka. Biro Perempuan dan Anak PGI mengatakan, edukasi terhadap warga gereja penting sekali dilakukan karena warga gereja ini salah satu lingkungan dimana nanti para korban atau para pelaku akan kembali.
“Proses integrasi yang terkadang sulit dilakukan karena terkadang lingkungan tidak bisa menerima setelah seseorang mengalami kekerasan entah dia korban, entah dia pelaku. Ketika mereka tidak bisa menerima, stag di satu sisi ini,” tutur Pdt. Sonnya.
Jadi, katanya, perlu sekali warga gereja diedukasi sehingga menjadi lebih terbukan bahwa kita bisa menjadi lingkungan yang aman dan nyaman untuk para korban.
Endang Supriyati, Korban Kekerasan dari Yayasan Bandung Wangi yang juga menjadi narasumber dalam Diskusi Publik ini mengeluhkan soal penanganan terhadap korban kekerasan.
Ia bercerita ada seorang anak perempuan usia 13 tahun yang bercita-cita menjadi penyanyi, gagal karena kekerasan yang dilakukan rekan yang mengiming-imingi untuk menjadi penyanyi tenar harus “tidur” dulu denganya.
Ia juga menyampaikan bahwa penutupan tempat-tempat prostitusi saat pandemi, bukan solusi.
Yang terjadi, kata Endang, hanyalah pemindahan dari tempat yang ditutup berpindah ke ranah online, banyak aplikasi-aplikasi yang menawarkan prostitusi dan mainnya bukan lagi di hotel karena hotel-hotel di masa pandemi tutup, mainnya di apartemen. “Itu yang kami temukan,” imbuh Endang. /fsp