Pdt. Hendry Victory Sihasale, KMJ Mahkota Hayat Pamekasan, Jawa Timur
ARTIKEL berjudul “GEREJA Di Era Metaverse, Ini yang Mesti Dilakukan Gereja” yang ditulis Pdt Patrisia Sapakoly, adalah suatu sikap intelektual yang kita butuhkan yang datang dari seorang Pendeta yang melayani di jemaat dan yang sedang studi doctoral.
Pandangannya tentang situasi aktual yang berpengaruh bagi kehadiran gereja di masa kini dan masa mendatang. Sebagai apresiasi terhadap artikel beliau, saya melengkapinya dengan gambaran umum tentang kondisi publik modern terhadap eksistensi agama, oleh dua orang pakar Sosiologi, yaitu Jose Cassanova dan Wade Clark Roof.
Pengetahuan kita terhadap kondisi publik ini penting bila mengacu pada pernyataan Pdt. Patrisia di dalam artikelnya bahwa “relasi menjadi catatan penting untuk diperhatikan ketika gereja sungguh-sungguh ingin hadir dalam pelayanannya”.
Dengan kata lain, adalah suatu kebutuhan bagi gereja untuk peka terhadap dunia dimana dirinya ingin eksis agar dapat memelihara relasinya dengan publik sekaligus untuk menjawab kebutuhan dan tantangan perkembangan zaman yang berlangsung. Semua ini merupakan konsekuensi panggilan dan pengutusan gereja yang mengarahkan dirinya untuk bekerja bersama Allah dalam menghadirkan damai sejahtera di dunia.
Jose Cassanova: Agama Publik
Jose Cassanova dalam bukunya “Publik Religions in the Modern World” yang diterbitkan tahun 1994 oleh Universitas Chicago, mengangkat teori Publik Religion setelah melakukan penelitian di beberapa negara maju & negara berkembang di benua Amerika & Eropa, perihal pengaruh agama dalam kehidupan publik.
Salah satu kesimpulan menarik dari hasil risetnya ini adalah kegagalan sekularisme dalam meminggirkan pengaruh agama di ruang publik.
Tidak sedikit ilmuwan abad 20 yang berpandangan bahwa seiring dengan laju modernisasi yaitu kemajuan teknologi, perkembangan masyarakat industri, dan pendidikan, maka berangsur-angsur publik akan melepaskan pengaruh agama pada dirinya.
Namun, hasil riset Cassanova menunjukkan hal yang berbeda. Setelah Perang Dunia Kedua, agama keluar dari area privat (deprivatisasi) dan menjadi kekuatan siginifikan dalam mempengaruhi realitas sosial, politik, dan ekonomi. Misal: gerakan anti-rasisme di Amerika, gerakan teologi pembebasan di Amerika Latin dan gerakan politik Islam pada era 80-an.
Munculnya de-privatisasi agama ini membuktikan eksistensi agama di ruang publik yang bertahan menghadapi laju modernitas. Fenomena ini justru membentuk beberapa relasi antara agama dengan dunia sekuler. Ada relasi dimana agama berusaha menguasai dunia sekuler. Ada relasi dimana dunia sekuler berusaha menguasai agama.
Dan terakhir, relasi dimana agama dan dunia sekuler yang tidak saling meguasai namun tetap terhubung dengan menjaga otonomi dan otoritasnya masing-masing. Bentuk relasi yang terakhir ini disebut diferensiasi. Dari hasil penelitian Jose Cassanova, bentuk relasi diferensiasi, yang potensial dalam memelihara relevansi agama di ruang publik.
Agama justru akan rugi apabila mengambil posisi untuk berada di atas yang lain. Menurut Cassanova, terpinggirkannya (marginalisasi) agama di Eropa Barat lebih disebabkan kehendak agama untuk berkuasa atas institusi-institusi sosial lainnya sehingga agama kehilangan relevansinya dan menurun pengaruhnya di ruang publik.
Sebaliknya, saat institusi yang lain, misal politik, berusaha menaklukan agama, maka akan muncul perlawanan publik dengan mendiskreditkan pengaruh politik dalam ruang publik.
Selain itu, perelevansian agama turut didukung oleh institusi-institusi sekuler seperti negara. Bagi negara modern, agama penting dalam upaya negara untuk memelihara ikatan sosial-kebangsaan sekaligus dalam mendorong perubahan sosial. Dengan keberadaan agama, negara sangat terbantu untuk menginternalisasikan nilai-nilai bernegara dalam jiwa/batin masyarakat.
Kenyataan ini menunjukkan kapasitas agama bagi institusi-institusi sekuler yang berpotensi menjadi mutual friend selama agama hadir dengan karakternya yang inklusif dan transformatif.
Cassanova juga menunjuk pada kemampuan adaptasi agama dengan perkembangan zaman sebagai syarat untuk relevan. Dengan beradaptasi, agama hadir sebagai pilar nilai-nilai kehidupan di ruang publik.
Agama memanfaatkan perkembangan zaman, sekaligus bersikap kritis-konstruktif terhadapnya. Sikap ini sangat ditopang dengan adanya pembaharuan pola pikir di para pemimpin agama yang terus mengupayakan relevansi dan signifikansi agama secara aktual. Dengan beradaptasi, agama memiliki nilai tawar yang istimewa bagi publik dan berpotensi menjadi kekuatan civil society yang signifikan dengan karakternya yang transformatif.
Dari bacaan Jose Cassanova ini, kita dapat mengerti bahwa agama itu niscaya relevan sampai kapan pun di ruang publik. Namun, relevansi agama pun merupakan pilihan. Selama agama menjaga relasi dan posisi diferensiasi dalam berhubungan dengan sektor-sektor publik lainnya, maka ia potensial untuk relevan. Juga dalam bersikap terhadap perkembangan zaman.
Selama agama itu mau beradaptasi dengan memanfaatkan perkembangan sembari kritis terhadapnya, maka agama berpotensi menjadi kekuatan publik dalam menciptakan kehidupan yang lebih baik. Kedua sikap ini, diferensiasi dan adaptasi, adalah syarat agama tetap relevan dan melanjutkan peran transformatifnya di ruang publik.
Wade Clark Roof : Spiritual Marketplace
Sekarang kita beralih ke bacaan konteks dari pakar Sosiologi berikutnya, Wade Clark Roof. Sosiolog Amerika ini melakukan penelitian terhadap karakteristik keagamaan generasi muda di Amerika pasca Perang Dunia Kedua yang dipengaruhi perkembangan teknologi informasi. Dua bukunya yang terkenal adalah “A Generation Seekers” yang diterbitkan tahun 1994 dan “Spiritual Marketplace” yang diterbitkan pada tahun 2001.
Penelitian Wade Clark Roof menunjukkan ada perbedaan karakteristik keagamaan antara generasi tua dan generasi muda. Karakteristik generasi tua cenderung loyal pada institusi keagamaan yang sudah mapan dan bentuk keagamaannya pun bersifat formil dan tradisional. Sedangkan generasi muda karakteristiknya lebih senang mencari bentuk-bentuk baru (generation of seekers) dan melihat agama sebagai alat untuk mendapatkan kedamaian, kebahagiaan, dan ketenangan hidup.
Karakteristik keagamaan yang mereka peroleh dari orang tua, pada awalnya cukup berpengaruh. Namun dalam perkembangan, mereka mulai tidak puas dengan apa yang sudah tersedia sehingga membuat mereka meragukan hal-hal yang mapan.
Sikap keraguan bagi generasi muda bukan hal yang tabu, melainkan suatu langkah penting untuk menemukan apa yang mereka pandang sebagai kebutuhan bagi keyakinan iman mereka. Oleh generasi muda, baik tradisi, sejarah, simbol, dan makna serta wujud kelembagaan agama yang sudah ada, dipandang sebagai alat untuk mencari kemurnian dan kesadaran spiritual pada agama yang mereka anut sekaligus yang akan dinilai apakah dapat berguna atau tidak bagi mereka.
Keraguan merupakan konsekuensi dari kebutuhan mereka bahwa agama mesti berdampak pada kualitas spiritual yang membuat mereka bahagia dan tenteram dalam hidup ini. Hal ini membawa mereka untuk mencari makna dan nilai spiritual di setiap sektor kehidupan sehingga spiritualitas dapat bertumbuh dalam setiap aktivitas termasuk gaya hidup.
Dengan kata lain, upaya pencarian spiritualitas itu tidak hanya terbatas pada satu ruang saja, tetapi menyatu dengan beragam ruang yang dihidupi oleh para generasi muda, misalnya: spiritualitas menyatu dengan industri, dengan olahraga/seni, dengan dunia digital, bahkan dengan materialisme atau hedonisme.
Karakteristik keagamaan generasi muda ini yang memunculkan Spiritual Marketplace (Pasar Spiritual) yang menyediakan berbagai bentuk dan kemasan agama yang menarik untuk memikat para generasi muda ini (generasi pencari/generation of seekers).
Tentu saja, dengan begini, agama tak ubahnya menjadi komoditas dan dagangan siap saji untuk dinikmati oleh para konsumennya. Dan, Spiritual Marketplace hadir untuk mengisi ruang dan menjawab apa yang dibutuhkan oleh para generasi muda tentang keberagamaan.
Kehadiran Spiritual Marketplace melahirkan karakteristik keberagamaan baru. Wade Clark Roof menemukan ada lima karakteristik beragama sebagai akibat dari fenomena ini :
- Dogmatis: karakter dari orang-orang yang kemudian membentuk suatu kelompok beragama yang berpegang pada penafsiran harafiah terhadap kitab suci. Tujuannya mengupayakan kemurnian beragama sesuai dengan apa yang tertulis dan menolak kenyataan yang ada di luar apa yang tertulis.
- Kelahiran kembali agama: karakter dari orang-orang yang mencari agama karena mengalami kehampaan batin setelah menggeluti kehidupan sekular. Perilakunya cenderung menonjolkan simbol-simbol keagamaan dan mengabaikan substansi agama. Agama seolah-olah menjadi corak atau salah satu “trend” dari gaya hidup materialistik.
- Sub-Kultur Arus Utama: karakter ini muncul dari kelompok keagamaan yang sudah mapan namun sifatnya tidak dogmatis dan adaptif dengan perkembangan zaman. Karakter kelompok ini menggunakan simbol-simbol keagamaan sesuai kebutuhan dan lebih menekankan substansi dari agama dalam hidup keberagamaan.
- Penganut Metafisik: karakter ini nampak pada orang-orang yang mengutamakan praktik-praktik spiritualitas atau olah batin sebagai gaya keberagamaan, dan cenderung skeptis memandang praktik-praktik keagamaan yang mapan.
- Sub-Kultur Sekuler: karakter ini muncul pada orang-orang yang mengaku beragama namun menjunjung tinggi sains di atas agama. Kelompok ini condong menjadi agnostik, yang tidak mempercayai konsep Tuhan yang diajarkan oleh agama, karena dinilai tidak saintifik.
Dengan melihat kelima karakteristik keberagamaan ini, mungkin kita dapat berdalih bahwa situasi ini tidak realistis terjadi dalam konteks kita di Indonesia.
Namun, dengan globalisasi, baik melalui gerakan keagamaan trans-nasional dan perkembangan pesat digitalisasi, maka tidak bisa dipungkiri bahwa realitas keberagamaan di negeri ini telah dipengaruhi oleh fenomena Spiritual Marketplace dengan lima karakteristik yang menjadi dampaknya.
Kenyataan ini adalah suatu konsekuensi alamiah dari manusia yang hidup di era perkembangan teknologi yang membutuhkan pembaharuan sesuai kebutuhan yang muncul karena konteks hidup yang dijalani.
Kesimpulan
Dengan demikian, melalui Jose Cassanova dan Wade Clark Roof, kita telah mendapatkan gambaran umum tentang fonemena modern perihal realita beragama dan proyeksinya.
Kebutuhannya adalah gereja sebagai institusi keagamaan meski niscaya relevan dengan perkembangan zaman, diharapkan tidak salah dalam memilih dalam bersikap, baik itu terkait dengan posisi mereka di antara institusi-insitusi publik yang lain maupun terkait dengan karakter kehadiran mereka di tengah konteks.
Pemenuhan kebutuhan ini sekaligus diiringi dengan tantangan gereja untuk berkontribusi kepada publik yang membutuhkan penguatan spiritual dalam menghadapi realita hidup yang kompleks.
Survey CSIS pada tahun 2018 menunjukkan bahwa realita generasi milenial di Indonesia tidak merasa agama menjadi instrumen kebahagiaan dalam hidup mereka.
Realita ini mau tidak mau telah menjadi konteks bagi gereja dalam melaksanakan panggilan dan pengutusannya dengan tetap menjaga relevansi sekaligus signifikansi kehadirannya dalam karya damai sejahtera Allah di dunia.
Artinya, meskipun ada kebutuhan umat untuk dikuatkan spiritualnya, juga menjadi suatu pengutusan bagi gereja untuk melibatkan umat sebagai motor dalam karya misioner gereja.
Syukur pada Tuhan bahwa di GPIB, upaya ini sudah dimulai secara fundamental dengan melakukan perelevansian Pemahaman Iman yang mengakar pada tradisi Eklesiologi Perjamuan Mesianik yang misioner dan multikultur.
Upaya perelevansian ini telah menegaskan landasan teologi GPIB yang berkarakter inklusif dan holistik sehingga secara memadai dapat melegitimasi upaya GPIB dalam mengaktualisasi dirinya.
Semoga dengan landasan ini, GPIB terus membangun dirinya sebagai gereja Tuhan yang relevan dan signifikan dalam menjawab kebutuhan dan menghadapi tantangan zaman, yang sejalan dengan spirit ecclesia reformata semper reformanda secundum verbum Dei. ***