Oleh: Dr. Wahyu Lay GPIB Cipeucang, Bogor
BERANI karena benar dan takut karena salah. Demikian ungkapan lama dan sering menjadi kata-kata bijak. Tetapi ungkapan itu tidak begitu dibenarkan dalam keadaan sekarang ini.
Nilai kearifan dari ungkapan itu seolah-olah sudah luntur. Dalam dunia modern, terkadang orang yang kalah, malahan bersuara lebih besar. Orang tidak takut walaupun ia salah. Sering terjadi pada pengalaman sehari-hari, pengemudi yang melanggar lalu lintas sehingga menimbulkan kecelakaan, justru ia yang paling banyak berbicara.
Sering pula dalam masalah lalu lintas, ia yang bersalah malahan ia yang memukul lebih dahulu. Rasanya orang tidak gampang untuk menjadi takut karena salah. Sekarang ini, orang tidak takut karena ia salah, Tetapi sebaliknya, ia menjadi berani menantang pihak lain walaupun ia tahu bersalah. Terdapat sebuah keyakinan, dengan berani bicara, ia ingin menutup kesalahannya.
Bukanlah hal yang mengherankan, orang yang pandai berbicara, dianggap benar. Orang yang menipu pun sering dianggap orang baik. Hal ini jika ditelaah lebih mendalam, terletak pada sikap orang dalam melihat sesuatu.
Ukuran orang dalam hubungan dengan sesama tidak lagi kejujutan, tetapi materi dan kekuasaan yang ada di luar dirinya. Ia harus pandai membuat dalih agar ia tidak membayar uang ganti rugi. Ia harus jago memberi janji-janji agar terpilih kembali. F.Nietzsche memang pernah berkata bahwa kehidupan ini dipertahankan karena orang ingin berkuasa.
Orang tidak mau diperbudak. Karena itu orang tidak perlu tunduk pada norma apapun, jika norma itu memperbudaknya atau menghalangi dia untuk berkuasa. Eksesnya, seperti moral Machiavellian, semua cara dapat digunakan untuk tetap tidak menjadi budak.
Orang merasa diri mempunyai tanggung jawab untuk mempertahankan kekuasaan. Kebijaksanaan seorang dinilai dari sikapnya untuk tetap tidak diperbudak. Mengejar kekuasaan, adalah sesuatu yang baik dan perlu, menurut Nietzsche . Mussolini dan Hitler pasti berterima kasih kepada pemikiran filosofis Nietzsche ini, mereka seolah-olh mendapat “legitimasi” filosofis dari perbuatan yang mereka lakukan.
Tetapi sejarah tidak dapat memaafkan mereka yang melawan kemanusiaan, dan dengan demikian melawan kebaikan. Tindakan mereka dilihat sebagai noda hidup dalam kemanusiaan. Kebaikan Dalam dunia filsafat bagi kaum positivistik, kebaikan tidak ada artinya. Mereka selalu mengacu pada pernyataan yang dapat di cek dengan panca indera atau dapat diteliti di labolatorium.
Kata-kata seperti kebaikan, kejujuran, kebenaran, keadilan, tidak dapat dicek dengan panca indera. Jadi menurut mereka, kata-kata itu terdengar di telinga tetapi tidak ada makna. Kata-kata itu, bagi mereka “omong kosong belaka: Benar, bahwa kebaikan tidak dapat dilihat dengan indera, seperti ungkapan “ini batu dan itu kayu”. Kebaikan ada dalam diri orang.
Karena itu kebaikan tidak dapat dilihat. Tetapi wujud dari kebaikan itu dapat dilihat dalam tindakan seseorang. Dalam arti tertentu, kebaikan seseorang dinilai oleh keseluruhan perbuatannya, bukan hanya dalam satu perbuatan. Alasannya, perbuatan sesaat dapat direkayasa. Orang yang berbicara mengenai kebaikan, belum tentu ia baik. Mungkin ia pandai berbicara, tetapi tidak mampu mewujudkannya.
Sama halnya dengan orang yang sering berbicara mengenai demokrasi dalam suatu kelompok, orang itu belum tentu seorang yang sungguh-sungguh demokratis. Ia sibuk mengucapkan kata-kata itu sehingga ia sulit mendengar pendapat orang lain. Nietzsche dan sebelumnya Thomas Hobbes, dalam arti tertentu sangat realistis dalam melihat manusia.
Mereka melihat manusia yang haus akan kekuasaan. Ia tidak ingin disaingi oleh orang lain. Orang yang tidak ingat diri, bagi mereka adalah orang yang aneh. Seruan kebaikan, kejujuran adalah seruan dari orang yang berada di padang gurun. Ia berseru seorang diri dan tak seorang pun mendengarnya.
Orang terlalu sibuk memikirkan kekuasaan, yakni kekuasaan politik, uang dan kenikmatan. Orang tidak mempunyai wktu lagi untuk mendengar penyeru kebaikan.
Akibatnya, kebaikan sering terabaikan. Pedang, peluru, meriam yang berbicara untuk menyelesaikan kericuhan antara sesama. Situasi di mana peluru berbicara, kebaikan kepada orang lain dilupakan. Dialog sejati tidak ada jika kebaikan, keluhuran budi, kejujuran ditinggalkan.
Orang tidak mungkin mendengar orang lain, jika ia hanya ingin melingkari dirinya dengan kekuasaan, uang dan kenikmatan. Pembicaraan politik sering hanya gincu yang gampang dihapus dan bukan dialog sejati.
Kebaikan Abadi Kebaikan sering diabaikan. Tetapi kebaikan tidak pernah mati. Dalam sejarah umat manusia, kebaikan hidup terus sepanjang zaman, Nabi-nabi besar yang mewartakan kebaikan, tetap dikenang sepanjang masa. “Guru-guru” kehidupan tidak pernah dilupakan. Pendiri Palang Merah, tetap dikenang sepanjang masa.
Pejuang-pejuang kemerdekaan dan pembangunan tidak pernah dilupakan. Kebaikan dari tingkah laku mereka, berbicara sendiri kepada masyarakat yang lain. Kebaikan tidak pernah mati. Hal ini dapat dilihat, sejarah akhirnya mengecam perilaku Mussolini, Hitler, Stalin dan banyak penguasa lainnya, karena mereka mengabaikan kebaikan. Dalam sejarah umat manusia, mereka menjadi contoh pelanggar kebaikan.
Dalam arti tertentu, mereka menjadi orang “terkutuk” karena sikap dan tindakan mereka yang mengabaikan kebaikan. Kebaikan selalu menang. Orang bisa saja melupakan kebaikan, tetapi hanya bersifat sementara. Orang melanggar kebaikan, hanya beberapa tahun. Pada saatnya, tindakan orang akan mengadili dirinya sendiri, ia baik atau jahat. Sejarah pada saatnya akan menentukan seorang itu baik sungguh-sungguh, atau berpura-pura baik. ***