Oleh : Dr. Wahyu Lay, Dosen Filsafat, Warga GPIB Cipeucang, Jawa Barat
FILSAFAT dikatakan cinta akan kearifan. Orang mengakui sejak Sokrates, berfilsafat berarti orang menggunakan akal budinya secara maksimal. Kearifan dan Kebijaksanaan tidak akan ditemukan dalam orang yang emosional dan meledak-ledak.
Kebijaksanaan bagi filsuffilsuf Yunani Kuno, tidak ditemukan pada orang bodoh. Orang yang bijaksana adalah orang yang mau berfikir, mau merenungkan secara mendalam mengenai sesuatu sebelum mengatakan atau memutuskan sesuatu.
Pilihan yang arif, harus didahului oleh pemikiran yang matang. Dengan demikian cinta sejati bukanlah cinta buta. Sebenarnya secara manusiawi cinta tidak pernah buta. Cinta tetap didasari pada pertimbangan.
Ketertarikan pada seseorang, misalnya pada pandangan pertama, bukanlah cinta sejati. Hal ini dapat dilihat pada ungkapan bahwa “cinta yang sejati adalah cinta yang penuh tanggung jawab”. Tanggung jawab dalam cinta membutuhkan penalaran. Itu berarti kita harus berfikir.
Akal budi pun harus digunakan dalam mencintai. Pengertian cinta seperti ini, juga berlaku pada cinta kita kepada bangsa dan tanah air. Manusia mempunyai pikiran dan kehendak. Berfikir mempunyai kaitan dengan soal kebenaran dan menghendaki berkaitan dengan kehendak.
Cinta memang lebih berkaitan dengan kehendak. Orang yang mencintai adalah orang yang menginginkan agar orang lain menjadi baik. Orang yang menginginkan orang lain hancur, atau senang jika orang lain masuk dalam kegagalan adalah orang yang membenci orang lain.
Dalam berfikir kita dapat mengenal kebenaran secara relatif. Maksudnya, kita memahami sesuatu sebagaimana benda itu dalam dirinya sendiri dari segi tertentu. Tetapi dalam menghendaki sesuatu, tidak ada istilah setengah-setengah. Orang harus menghendakinya secara tuntas. Orang yang membenci orang lain pun tidak pernah setengahsetengah.
Ia akan membencinya seratus persen. Ia dapat berpura-pura manis di depan kita, tetapi sebenarnya ia menyimpan dendam. Demikian pun dalam mencintai. Orang yang hanya mencintai setengah-setengah adalah orang yang tidak mencintai orang lain sama sekali. Misalnya, seorang pahlawan, ia rela mengobarkan hidupnya demi bangsa dan negaranya.
Seorang pemimpin yang mencintai bangsanya seperti Mahatma Gandhi, berjuang dengan sungguh-sungguh untuk kemanusiaan. Martin Luther King tidak pernah berhenti mencanangkan cintanya pada kemanusiaan.
Ibu Teresa dari Kalkuta adalah orang yang tidak hanya peduli terhadap orang miskin tetapi orang yang menyerahkan diri seluruhnya untuk kepentingan mereka. Cinta yang serius sering dikatakan menjadi cinta buta. Orang yang tidak berfikir lagi. Tetapi cinta itu sebenarnya mengalami proses. Pertama orang terpesona dengan orang tertentu atau dengan keyakinan tertentu.
Dari rasa terpesona itu, orang mulai mempertimbangkan secara serius. Demikian dikatakan oleh Ramsey seorang ahli filsafat bahasa beragama pada zaman modern. Setelah melakukan pertimbangan yang matang orang memutuskan untuk menerima atau menolaknya. Jika ia menerima, ia harus melibatkan diri sepenuhnya dalam putusan itu.
Seluruh kehendaknya mesti diarahkan kepada orang yang dicintainya, bangsa yang dibelanya atau agama yang dianutnya. Dalam keterlibatan itu, orang tidak berfikir banyak lagi. Ia melakukan, berbuat. Cinta pada akhirnya adalah puncak dari penalaran. Akal budi membawa orang kepada keputusan dan keputusan membuat orang mesti mengambil tanggung jawab.
Dalam mengambil keputusan kehendak memainkan peranan penting. Cinta yang arif adalah cinta tanpa emosi. Hasil dari cinta yang arif ialah mempersatukan karena dalam cinta sejati orang menghargai pribadi yang lain. Dalam sikap emosional kita tidak mencapai cinta yang sejati. Kita malahan sebaliknya merusak persatuan.
Jika kita membantu orang karena alasan politik atau ekonomi, kita sebenarnya tidak mencintai dengan tulus. Cinta sejati tidak boleh ada “udang di balik batu“. Karena itu kearifan dalam cinta harus disertai dengan kejujuran. Cinta Tanah Air Right or Wrong, my country, adagium ini penting dalam mencintai sebuah negeri.
Warga negara harus mempertahankan nama dan harkat bangsanya. Ia jika perlu, rela mati demi bangsa dan negaranya. Tetapi cinta pada tanah air harus juga arif. Orang yang mencintai negerinya, tidak hanya mengagumi negerinya tetapi juga mencoba mengeritik negerinya.
Cinta buta tidak pernah bertahan. Cinta dengan pertimbangan yang matang akan bertahan. Seorang warga warga negara yang baik tidak hanya memuja-muja tanah airnya, tetapi juga dengan berani melihat kekurangan yan terdapat di tanah airnya.
Cinta tanah air tetap dimasukkan dalam konteks kemanusiaan. Cinta sejati tidak pernah tertutup. Jika Radikkato ingin supaya Endanglastri menjadi baik, ia tidak boleh memperlakukannya sebagai miliknya. Ia tetap pribadi lain dari dirinya.
Cinta sejati terjadi karena kita menghargai orang lain sebagai adanya. Karena itu kehadiran orang lain merupakan sebuah anugerah bagiku. KehadiranNya merupakan pesan mengenai arti kehidupan, arti kebersamaan. Dalam kehadirannya saya dapat mewujudkan kebebasanku.
Alasannya setiap keputusanku pasti menyangkut para petani yang menghasilkan padi, tukang masak dan pengurus restauran atau rumah tangga yanng handal. Cinta pada diri sendiri, cinta kepada bangsa dan tanah air tetapi mengabaikan kemanusiaan, menghancurkan kehidupan kita sendiri.
Karena itu cinta yang arif adalah cinta penuh pertimbangan, bertanggung jawab dan berdasarkan cinta pada kemanusiaan. Karena itu orang perlu dididik untuk sungguh-sungguh mencintai. ***