Oleh: Dr. Wahyu Lay, GPIB Cipeucang, Dosen Filsafat
Kehidupan yang semakin modern, apalagi di kota-kota besar, membuat orang kian sibuk tak alang kepalang. Orang-orang yang kurang berpunya sibuk, bergulat dan berjuang untuk sekedar memenuhi kebutuhan hidup dari hari ke hari; makan, pakaian, uang sekolah anak-anak, dan kontrak rumah. Sibuk!
Tetapi jangan menyangka, bahwa yang telah berpunya lalu boleh bersantai-santai. Mereka pun sibuk luar biasa. Sibuk, untuk lebih berupaya lagi. Untuk menjadi lebih besar, mencapai lebih tinggi, dan mempunyai lebih banyak. Sibuk! Begitu sibuknya, sehingga orang menjadi terlalu sibuk untuk sempat berhenti dan merenung: untuk apa sebenarnya semua kesibukan itu?
Kesibukan-kesibukan yang tanpa henti itu, apakah ia sekedar untuk hidup? Atau untuk mencapai sesuatu yang lebih mulia dan lebih bermakna daripada sekedar hidup? Tetapi apakah hidup itu sesungguhnya? Apakah hidup itu ibarat mobil,dan kita adalah sopirnya? Sepenuhnya berada di bawah kontrol dan kendali kita, tergantung dari kita akan kita bawa kemana?
Ataukah hidup itu adalah laksana mesin raksasa, dan kita ini Cuma salah satu sekrupnya? Tak punya kuasa apa-apa atas hidup kita sendiri? Persoalannya sekarang, bila kita tak mengetahuinya, lalu apa yang mesti kita kerjakan? Dua hal hendak saya kemukakan.
Pertama, kita mungkin tak mengetahui kehendak Allah yang khusus terhadap per orang. Namun kita toh mengetahui apa kehendak Allah yang umum yang berlaku bagi setiap orang dan semua orang. Yaitu, Allah menghendaki keadilan dan kesejahteraan bagi semua orang.
Itu berarti, bahwa sekalipun kita tak mengetahui dengan persis apa rencana khusus Allah untuk kita satu per satu, kita satu per satu dituntut untuk mengarahkan dan menyesuaikan kehidupan kita sesuai dengan rencana dan kehendak Allah yang umum itu; mengusahakan keadilan kesejahteraan bagi sebanyak mungkin orang.
Sebab apapun rencana khusus Allah itu, apakah ia mau supaya kita menjadi menteri atau petani, pendeta atau pengusaha, ibu rumah tangga atau tukang becak, masing-masing itu mesti kita laksanakan dan arahkan sesuai denngan rencana umum Allah; bertindak adil dan mendatangkan sejahtera bagi sesama.
Kita tidak mengetahui persis apa yang Ia kehendaki secara khusus bagi kita satu per satu, tapi kita tahu persisi apa yang Ia tidak kehendaki, yaitu : berlaku tidak adil dan merugikan kesejahteraan sesama. Apakah godaan dan bahaya itu ada? Sayang sekali, jawabnya adalah: ya.
Bayangkanlah bintang-bintang di langit, entah berapa miliar jumlahnya. Semuanya serba bergerak. Mengapa tak terjadi tabrakan? Sebab masing-masing bintang mengikut alur dan jalur yang ditetapkan Allah. Melanggar alur itu, akan berarti bencana. Bencana bagi bintang itu sendiri dan bagi yang lain-lain juga.
Sayang sekali, bintang-bintang itu jauh lebih patuh daripada manusia. Manusia mempunyai kemungkinan (bahkan kecenderungan) untuk keluar jalur. Dan memang itulah sebabnya, mengapa hidupnya tak pernah bebas dari bencana dan malapetaka.
Yang kedua, betapa sering kita tidak dapat mengetahui apa yang direncanakan Allah itu sebelumnya. Seringkali, kita baru mengetahui sesudahnya. Dan betapa sering, rencana Tuhan atas kita itu begitu bertolak belakang dari rencana kita.
Siapa dapat mengatakan, bahwa Paulus telah merencanakan untuk menjadi seorang pengabar Injil sejak awalnya?! Rencana Tuhan atas kita tak selalu yang paling enak dan paling ideal menurut ukuran kita. Tetapi betapapun tak enaknya, bila memang kita yakin bahwa itulah jalan yang mesti kita tempuh, lebih baik Ia kita patuhi dan ikuti.
Sebab sekali Ia menyatakan kehendakNya kepada kita, kita tak punya lagi kemungkinan untuk melarikan diri. Yunus pernah diutus ke Niniwe, tapi lari ke Tarsis. Akhirnya, melalui pengalaman-pengalaman yang amat drastis, toh Tuhan membawanya kembali ke Niniwe. Yesus memberi teladan yang indah mengenai ini. Ia mengetahui apa rencana Tuhan atas diriNya: Ia mesti melalui jalan salib.
Ia sama sekali tak menyukainya. Namun demikian, Ia tidak melawannya. Dengan taat, Ia memasukinya. Bahkan memuliakan Allah disitu. “Sekarang jiwaKu terharu”, dan apakah yang akan kukatakan? Bapa, selamatkanlah Aku dari saat ini? Tidak! Sebab untuk itulah Aku datang ke dalam saat ini, Bapa, muliakanlah NamaMu!” (Yoh. 12:28). ***