Dialog Kebangsaan dalam rangka Bulan Germasa GPIB kali ini mengambil tema “Mewujudkan Keadilan dan Perdamaian Demi Kesejahteraan Bersama.” Tema ini diangkat untuk menggali berbagai perspektif dan solusi terhadap tantangan yang dihadapi bangsa Indonesia dalam mencapai kesejahteraan bersama.
Empat tokoh penting berbagi pandangan mereka mengenai keadilan, perdamaian, dan pembangunan di Indonesia. Dr. A. Teras Narang, Chris Kanter, Dr. Fatrawati Kumari, dan Pdt. Jacklevin F. Manuputty masing-masing memberikan kontribusi berharga dari perspektif pribadi, strategis, dan agama. Dialog ini tidak hanya membahas tantangan yang dihadapi dalam pembangunan nasional dan regional, tetapi juga menyoroti pentingnya prinsip-prinsip keadilan dan toleransi dalam membangun masyarakat yang harmonis dan sejahtera. Keempat narasumber memberikan wawasan mendalam tentang bagaimana berbagai elemen sosial, budaya, dan politik saling berinteraksi dalam membentuk masa depan Indonesia.
Dr. A. Teras Narang, mantan Gubernur Kalimantan Tengah, membuka diskusi dengan refleksi mendalam mengenai nilai-nilai kebersamaan dan toleransi yang membentuk pandangannya tentang keadilan dan perdamaian. Beliau membagikan pengalamannya tumbuh di lingkungan plural di Banjarmasin dan bagaimana hal tersebut membentuk sikapnya terhadap perbedaan. Teras Narang menegaskan bahwa keadilan dan perdamaian harus dimulai dari individu, dengan mencontohkan berbagai inisiatif yang dilakukannya, seperti pendirian mushola dan masjid raya. Ia mengingatkan bahwa Kalimantan, sebagai bagian dari Indonesia, harus dibangun dan dipelihara dengan semangat persatuan dan kebersamaan.
Sementara itu Chris Kanter memberikan perspektif strategis mengenai pemindahan ibu kota negara (IKN) ke Kalimantan Timur. Ia menjelaskan latar belakang historis dan tujuan dari pemindahan tersebut, yaitu untuk mengatasi ketimpangan pembangunan antara Jawa dan luar Jawa. Chris juga menguraikan tantangan yang dihadapi dalam proses pembangunan, seperti keterlambatan dan pengeluaran yang membengkak akibat pandemi COVID-19. Ia menekankan pentingnya peran komunitas agama dan masyarakat adat dalam memastikan bahwa pembangunan IKN tidak mengabaikan hak dan kepentingan lokal.
Perspektif menarik disampaikan Ibu Dr. Fatrawati Kumari dengan menyoroti dampak sosial dari pemindahan ibu kota. Beliau mempertanyakan apakah langkah ini akan benar-benar mengatasi masalah-masalah mendasar di Jakarta, seperti ketimpangan sosial dan intoleransi. Fatrawati memperkenalkan konsep cara pandang maskulin dan feminin dalam konteks keadilan, dengan menekankan pentingnya prinsip kasih sayang dan kesetaraan. Ia juga berbagi pengalaman dari komunitas perempuan interfaith di Banjarmasin sebagai contoh penerapan toleransi dan kerja sama antaragama.
Sekretaris Umum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia, Pdt. Jacklevin F. Manuputty menggarisbawahi peran penting gereja dalam advokasi keadilan dan perdamaian. Ia membuka pemaparannya dengan ayat Alkitab dari Amos 5:21-24 untuk menekankan pentingnya keadilan dalam ibadah dan praktik religius. Pdt. Jacklevin berbagi pengalaman dalam membangun dialog lintas agama, terutama di Maluku selama konflik berdarah, dan menekankan perlunya gereja untuk hadir sebagai advokat dan mediator dalam masalah ketidakadilan. Ia mengajak semua pihak untuk memulai dengan tindakan kecil namun konsisten dalam upaya membangun masyarakat yang harmonis.
Keempat narasumber memberikan catatan penting untuk diperhatikan oleh GPIB khususnya tantangan yang dihadapi Indonesia dalam mewujudkan keadilan dan perdamaian. Dari pemaparan Teras Narang kita diingatkan bahwa keadilan dan perdamaian harus dimulai dari individu. Di tengah perbedaan yang mendalam dan kesenjangan sosial, komitmen pribadi terhadap toleransi dan kebersamaan adalah fondasi untuk perubahan yang berarti. Sementara itu, kompleksitas pemindahan ibu kota negara, seperti yang dipaparkan Chris Kanter, menegaskan bahwa tanpa perhatian serius terhadap hak-hak masyarakat adat dan komunitas lokal, rencana besar ini dapat berisiko gagal. Sementara itu tawaran Fatrawati yaitu pergeseran paradigma menuju cara pandang feminin—kasih sayang dan kesetaraan—sebagai kunci untuk membangun masyarakat yang lebih adil menginspirasi gereja untuk memperhatikan masalah mendasar yang terjadi di tengah-tengah masyarakat, seperti ketimpangan dan intoleransi. Pentingnya mengubah paradigma sehingga solusi yang ditawarkan dapat lebih komprehensif.
Pdt. Jacklevin F. Manuputty mengingatkan kita bahwa gereja dan komunitas agama tidak hanya sebagai tempat ibadah, tetapi sebagai kekuatan moral dan sosial yang harus aktif dalam mendukung keadilan. Dalam dunia yang sering dipenuhi ketidakadilan dan konflik, peran gereja harus lebih dari sekadar retorika religius. Gereja harus menjadi agen perubahan yang tak terhindarkan—menyentuh kehidupan sehari-hari dengan tindakan kecil namun berdampak dan terlibat dalam advokasi yang lebih luas.
Dialog Kebangsaan ini mendorong gereja untuk berefleksi lebih mendalam: Apakah gereja dan komunitas agama benar-benar menjalankan peran ini dengan konsisten? Apakah gereja berani mengambil langkah-langkah yang mungkin tidak populer namun perlu untuk menegakkan keadilan? Tantangan ini menuntut lebih dari sekadar pernyataan moral; ia meminta tindakan konkret dan keberanian untuk berdiri di garis depan perubahan sosial. Dalam perjalanan ini, gereja harus menilai kembali peran dan tanggung jawabnya, tidak hanya sebagai penjaga nilai-nilai spiritual tetapi juga sebagai pelopor keadilan sosial di tengah masyarakat yang terus berubah./dsb