JAKARTA, Arcus GPIB – Acara menarik digelar Departemen Germasa Majelis Sinode GPIB bekerjasama dengan Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI). Acara itu, Diskusi Publik, Kampanye 16 Hari Tanpa Kekerasanterhadap Perempuan.
Acara yang diselenggarakan pada Sabtu 26 November 2022 di GPIB Paulus Jakarta menjadi menarik karena disajikan ditengah meningkatnya kasus-kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan yang terjadi diranah diranah publik.
Ketua II Majelis Sinode GPIB Pdt. Manuel Raintung, S.Si, M.M mengatakan, gereja turut bergumul untuk memperjuangkan pula upaya-upaya membela hak azas manusia.
Gereja sebagai elemen bangsa ikut memberi perhatian memperjuangkan hak-hak azasi manusia dalam rangka membela perempuan yang menjadi korban kekerasan.
“Peringatan 16 hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan kalau menurut data sudah dimulai sejak tahun 2003 dan dilingkup GPIB setiap tahun juga diperingati ini menjadi tanda, wujud bahwa gereja sungguh-sungguh perduli terhadap persoalan-persoalan kemasyarakatan,” kata Manuel.
Irjen Pol (Purn) Pnt. Alex Mandalika, Ketua Departemen Germasa mengakui tingginya kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak tidak sebanding dengan tenaga Polisi dijajaran Kepolisian untuk menangani kasus-kasus yang masif terjadi.
“Kekerasan terhadap perempuan sudah sejak dulu terjadi, cuma baru diakomodir pemerintah tahun 2004,” tutur Alex Mandalika, Mantan Kasat Reskrim Polres Metro Jakarta Timur ini seraya menunjuk UU No. 23/2004.
Dalam acara yang dipandu Pdt. Herlin L. Kunu, lebih jauh Alex Mandalika menyebut alasa diterbitkannya UU No. 23/2004. Menurutnya, diterbitkannya UU No. 23/2004 pemerintah memandang perlu karena kekerasan terhadap perempuan sangat meningkat masif.
Alex Mandalika yang juga presbiter di GPIB Agape Jakarta Timur ini memandang perlunya gereja terlibat dalam penanganan kasus-kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan.
Mantan Kapuslabfor Bareskrim Polri ini juga mengajak gereja berperan lebih jauh membantu dalam penanganan kasus yang terjadi. Menurutnya, gereja sebagai institusi sebenarnya sudah diatur. Sekarang bagaimana agar gereja bisa menjadi konsultan, mewadahi jemaatnya dalam penanganan kasus-kasus bila itu terjadi.
“GPIB jemaat yang begitu besar, kalau ini kita lakukan dengan implementasi yang lebih membumi kita yakin kedepan makin banyak jemaat kita terutama kaum perempuan yang sadar melaporkan kemudian bagaimana gereja bertindak sebagai konsultan,” imbuh Alex.
Pdt. Sylvana Apituley, pegiat Perempuan dan Anak mengatakan, tidak semua korban berani bersuara. Namun demikian ada saja orang-orang yang berani bersuara, bersaksi di lingkungan terdekat dan meneruskan pengaduan korban kepada pihak-pihak tertentu.
Menurut Sylvana kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak banyak dimunculkan dalam Sidang-sidang gerejawi, baik temuan di tingkat GPIB maupun tingkat Dewan Gereja Dunia.
“Yang dilaporkan adalah kekerasan dalam rumah tangga. Kekerasan seksual yang cukup menonjol, adanya diskriminasi dan tindakan-tindakan lain, pelebelan negatif terhadap perempuan dan kekerasan terhadap minoritas seksual dan gender,” papar Sylvana.
KDRT, kata dia, meningkat tajam saat pandemi, penyebabnya bisa karena penghasilan berkurang drastis pengeluaran bertambah. Sampai dengan Mei 2022 terdapat 892 kasus. Kekerasan berbasis gender online meningkat 300% data ini tidak menggambar seluruh realitas ini hanya yang dilaporkan, tekanan mental meningkat.
“Pengaduan korban kalau mengadu belum tentu ditindaklajuti,” kata Sylvana.
Siti Aminah Tardi dari Komisi Nasional Perempuan dalam kesempaptan itu mengurai kekerasan berbasis gender terhadap perempuan antara lain fisik, seksual, psikologis, dan ekonomi.
Kekerasan seksual bisa terjadi diranah negara. Ia mencontohkan saat polisi menangkap seorang wanita lalu menelanjangi atau Satpol PP yang menangkap orang pacaran dan membawa ke kantor lalu dipaksa untuk melakukan aktivitas seksual.
Sementara kekerasan seksual diranah publik adalah, misalnya, Pengurus gereja dengan jemaatnya, guru dengan murid atau pembebri kerja dengan pekerja.
Siti Aminah juga mengurai Kekerasan seksual berbasis Elektronik (KSBE) terhadap perempuan kasusnya cukup tinggi.
“Data Komnas Perempuan terjadi kenaikan 83% kasus KSBE dari tahun 2022 (940 kasus) menjadi sebanyak 1.721 kasus pada 2021,” imbuhnya.
Acara Diskusi Publik semakin menarik dengan hadirnya Penanggap, Pdt. Sonnya M. Uniplaita, Ka. Biro Perempuan dan Anak PGI dan hadirnya Endang Supriyati, penyintas dan Pekerja di Yayasan Bandung Wangi yang menceritakan banyak hal tentang dirinya. /fsp/den