TANGERANG, Arcus GPIB – GPIB Jemaat Yudea Tengerang melaksanakan Pembinaan Pengurus – Pelayan Pelkat dan Komisi menghadirkan narasumber kompetensi Pendeta Marthen Leiwakabessy, S.Th, Pendeta Manuel E. Raitung S.Si, M,M, Pendeta Drs. Jeffrey Sompotan S.Th dan Pendeta Cindy Cecilia Tumbelaka – van Munster, M.A., M.Th.
Acara dilaksanakan pada 4 -5 Maret 2023 yang dibuka Pendeta Agustian Manalu, KMJ GPIB Yudea Tengerang ini menyatakan apreasiasi dan rasa syukurnya bisa melaksanakan Pembinaan Pengurus – Pelayan Pelkat dan Komisi yang dihadiri sebanyak 201 orang.
Ketua I Pendeta Marthen Leiwakabessy yang membawakan materi “Peningkatan Peran Keluarga” mengatakan, pembinaan pelkat dimaksudkan sebagai wadah melahirkan sosok insan GPIB yang berkualitas dari tengah keluarga.
Dikatakan, dari pembinaan ini, diharapkan tercipta pribadi yang berkualitas, inovatif dan unggul jujur, tulus dan adil bebas dari berbagai penyakit masyarakat seperti miras, narkoba, obat-obat terlarang.
GPIB sangat memperhatikan sumber daya insani yang dimiliki, karenanya selalu ada perhatian khusus gereja membangun untuk pribadi unggul untuk kepentingan gereja dan masyarakat.
Mengapa? Mengingat maraknya perkembangan sosial masyarakat yang bukan hanya membawa perubahan positif tetapi turut membawa permasalahan negatif yang mampu merusak individu, keluarga maupun masyarakat, baik dalam spiritualitas, juga dalam psikis dan fisik.
Membawakan materi “Pelayanan yang Memimpin” Pendeta Manuel Raintung mengatakan, pemimpin yang baik itu adalah pemimpin yang melayani sama seperti yang Yesus lakukan.
“Secara jelas bahwa pemimpin itu adalah pelayan. Seseorang harus menyadari bahwa secara hakiki pemimpin adalah pelayan. Dan jika seseorang ingin dilayani, maka dia harus memiliki hati sebagai seorang pelayan. Sanggup mengedepankan kepentingan orang banyak dan mengutamakan pertumbuhan dan damai sejahtera,” kata Pendeta Manuel.
Menurutnya, pola kepemimpinan sekuler pada umumnya melibatkan akumulasi dan pelaksanaan kekuasaan oleh seseorang di “puncak piramida”, dan menggunakan kekuasaannya untuk memerintah. Hal ini jelas berbeda dengan pelayan yang memimpin.
“Pelayan yang memimpin memiliki kekuatan yang berasal dari visi Allah yang sangat kuat, yaitu visi kehambaan. Hal ini muncul dari dalam dirinya guna menempatkan kebutuhan orang lain terlebih dahulu dan membantu orang berkembang serta tampil menemukan aktualisasi dirinya,” tutur Manuel.
Menggabungkan dua sudut pandang ini, pelayan dan pemimpin adalah sebuah hal yang barangkali berbeda dengan apa yang ditemukan kebanyakan orang dalam pelayanan pada umumnya.
Masih banyak orang yang melihat pelayanan dari sudut pandang hirarkis, sehingga yang tertinggi adalah yang perlu dilayani. Dalam berbagai kasus yang terjadi, misalnya, Ketua pelkat dianggap sebagai penentu dan fungsi akhir dari sebuah keputusan.
Manuel mencontohkan, ibadah HUT Pelkat, atau dalam acara yang digagas oleh komisi, maka yang biasanya memberikan kata sambutan adalah Ketua atau paling tidak Sekretaris Pelkat atau komisi. Padahal tidak demikian adanya.
Konsep presbiterial sinodal yang dianut oleh GPIB adalah sebuah konsep kepemimpinan yang kolektif kolegial, semua berjalan bersama, diputuskan bersama, dilaksanakan bersama, dan dievaluasi bersama pula. Oleh karena itu, dua sudut pandang ini (pelayan dan pemimpin) harus menjadi dua buah sisi mata uang yang saling melengkapi satu dengan yang lain. Di mana kata “pelayan” menjadi subjek dan kata “memimpin” menjadi predikat.
Dengan demikian, berbekalkan karakter Tuhan Yesus Kristus yang dengan sangat kuat telah terlebih dulu memberi contoh dalam memberikan hati dan komitmenNya guna melayani dari pada dilayani, maka pengurus unit misioner, dalam hal ini pengurus pelkat dan pengurus komisi dipanggil menjadi pelayan Allah guna memimpin umat yang dipercayakan kepadanya agar dilayani dan dihantar masuk ke dalam Kerajaan Allah. /fsp