Home / Misioner

Rabu, 6 November 2024 - 14:55 WIB

Raih Master, Pdt. Sulistiyati Solfina Ungkap Peran “Religious Coping…”

Pdt.Sulistiyati Solfina, S.Th, M.Si: Ada korelasi agama dengan kesehatan.

Pdt.Sulistiyati Solfina, S.Th, M.Si: Ada korelasi agama dengan kesehatan.

BANDUNG, Arcus GPIB Gereja, majelis jemaat dan komisi kedukaan atau diakonia diharapkan meningkatkan kompetensi dan keterampilan yang didasarkan pada belas kasih dan empati dalam memberikan pelayanan atau dukungan kepada jemaat yang berduka.

Harapan itu disampaikan Pendeta Sulistiyati Solfina, S.Th, M.Si dalam tesisnya  berjudul “Peran Religious Coping dan Social Support terhadap Bereavement (Penelitian pada Jemaat Berduka di GPIB Kota Bandung)”.

Meraih Cumlaude pada Program Studi Magister Psikologi Sains, fokus studi: Keluarga dan Perkawinan.

Hasil penelitian Program Studi yang diselesaikan 4 semester tahun 2022-2024  di Universitas Maranatha Bandung menyebutkan, dalam mengatasi kedukaan, perlunya meningkatkan positive religious coping dengan tetap beriman bahwa Tuhan senantiasa bersama-sama dan menguatkan, merawat hubungan sosial dengan keluarga, sahabat, teman dan persekutuan/gereja.

Menurut Pendeta Sulistiyati yang meraih Cum Laude yang akrab disapa Lilis ini, salah satu cara mengatasi kedukaan adalah dengan mengandalkan keyakinan agama. Praktik dan kepercayaan agama dapat menjadi salah satu faktor yang membantu individu yang berduka dalam menyesuaikan diri dengan kehilangan yang mereka alami.

Pendeta GPIB ini mengatakan,  ada korelasi positif antara agama dengan kesehatan mental dan fisik. Orang beragama terbukti lebih lama hidup serta mempunyai kehidupan lebih sehat.

Peneltian yang dilakukan oleh Koenig et al (1988) menyebutkan bahwa keyakinan akan agama dapat melindungi orang dari penyakit kardiovaskular, menurunkan depresi dan disforia, meningkatkan semangat dan harga diri.

Orang yang berduka yang menaati norma agama mengenai perilaku kesehatan dan gaya hidup dapat terlindungi dari timbulnya masalah kesehatan setelah kematian orang yang dicintai.

Religious coping merupakan faktor yang dapat membantu proses bereavement dengan religious coping individu dapat menggunakan kepercayaan ataupun praktik keagamaannya guna memfasilitasi tahapan menyelesaikan permasalahan untuk mengurangi ataupun meminimalisir efek psikologis negatif stres, sehingga membantu seseorang untuk menyesuaikan diri dengan kondisi hidup yang banyak tekanan (Koenig, 2001).

Baca juga  MEROBEK Malam

Religious coping didefinisikan juga sebagai upaya untuk memahami serta menangani sumber stres dalam kehidupan melalui berbagai metode demi meningkatkan relasi manusia dengan Tuhan (Pargament et al., 2011). Beberapa penelitian menegaskan bahwa mereka yang berduka melalui dimensi agama lebih sedikit menderita kesepian dan lebih tangguh (Cadell et al., 2012; Damianakis & Marziali, 2012; F. Walsh, 2020), mengubah trauma dan kesulitan menjadi peluang untuk perubahan dan pengembangan pribadi (Walsh, 2020), memfasilitasi proses pertumbuhan pascatrauma (Prieto-Ursua & Jodar, 2020).

Temuan penelitian Walsh (2002) menyatakan bahwa kekuatan keyakinan spiritual merupakan prediktor penting dari hasil duka cita (Walsh, 2002).

Religious coping terdiri dari 5 (lima) dimensi yaitu menemukan makna dari agama, mendapat kendali, rasa nyaman dan keintiman dengan Tuhan, mendapatkan kedekatan sesama bahkan Tuhan, serta mewujudkan transformasi hidup.

Pola religious coping terbagi dua baik itu positif yang mereflesikan hubungan yang positif dengan Tuhan maupun negative yang mereflesikan sebaliknya (Pargament et al., 2011). Positive religious coping dihubungan dengan berkurangnya tanda psikosomatis serta lebih besarnya pertumbuhan spiritual usai stres.

Positive religious coping memanfaatkan rasa keterhubungan dengan kekuatan transenden, relasi dengan Tuhan yang peduli serta yakin kehidupan bermakna besar. Negative coping religius yaitu coping maladaptif yang menginterpretasikan masalah kehidupan sebagai hukuman Tuhan (Zarrouq et al., 2021).

Positive religious coping adalah keterlibatan yang positif dalam religiusitas dimana agama dipandang dapat membantu untuk memahami permasalahan di dunia dan memungkinkan individu untuk mersespon secara efektif dalam menghadapi situasi stres dalam jangka panjang (Lewis et al., 2015).

Baca juga  Hidup Bukan Sekadar Hidup, Jadilah Berarti untuk Sesama

Individu dengan tingkat religious yang tinggi tidak merasa sendirian karena mereka percaya bahwa Tuhan selalu berada dengan mereka (Turan, 2018). Individu yang menggunakan positive religious coping dianggap lebih mampu menyesuaikan diri dan mengatasi stresor kehidupan seperti gangguan  depresi (Smith et al., 2003), menunjukkan optimisme besar, sedikit kecemasan serta tingkat emosi lebih positif (Utami, 2012)., memiliki hubungan mental dan sosial yang lebih baik secara keseluruhan (Ramirez et al., 2012).

Agama dapat memberikan dampak positif terhadap kesehatan fisik maupun mental, akan tetapi juga dapat berdampak negatif dan memperburuk suatu permasalahan. Oleh karena itu, hal ini dikenal sebagai negative religious coping yang mencakup kecemasan terhadap Tuhan, perspektif akan dunia yang lemah serta tidak menyenangkan, dan perjuangan keagamaan untuk mencari individu lainnya dalam hidup untuk diajak bicara.

Selain itu juga mencerminkan pandangan dunia yang terguncang dan ditandai dengan konflik dan ketegangan agama (Abu-Raiya & Pargament, 2015). Negative religious coping dapat menimbulkan respons negatif seperti hukuman, kecemasan, depresi dan permusuhan (Mohamed Hussin et al., 2018).

Individu dengan negative relogious coping akan cenderung berpikiran buruk terhadap hal-hal di luar dirinya, khususnya Tuhan, seperti ketidakpuasan spiritual, menyalahkan Tuhan, rasa tidak puas akan religius antar pribadi, penilaian terhadap kekuatan jahat, serta penilaian kembali atas kuasa Tuhan, cenderung pasrah kepada Tuhan tanpa usaha apapun sebab percaya bahwa Tuhan akan mentakdirkan mereka tanpa melakukan apapun.

Individu dengan negative religious coping ketika mengalami bereavement akan merasakan kehidupan yang tidak bermakna, kehilangan keyakinan serta kehilangan minat dalam menjalankan aktivitas sehari-hari.

Di samping itu, individu akan marah, merasa bersalah dan menyalahkan dan mencari siapa yang bertanggungjawab atau pencegahan kematian individu merasakan pencarian dan kerinduan kepada orang yang meninggal. /fsp

 

Share :

Baca Juga

Misioner

Dari GPIB Immanuel Gambir, Mantap Persiapan Pelaksanaan Natal Nasional 2021

Misioner

Dari Charity Golf PKP, Cindy Tumilaar: Wow, Tahun Depan Boleh Juga

Misioner

Calon Vikaris, Siapa yang Lulus, Pdt. Elly D. Pitoy De Bell: Tunggu “Surat Cinta” 

Misioner

Jangan Lalai Memelihara dan Menghidupi Keselamatan, Hiduplah Dalam Kebaikan-Nya

Misioner

Waspadalah, Berpeganglah Pada Kebenaran Firman Tuhan, Jangan Tersesat

Misioner

Visitasi Pelkes GPIB 2022: Dari Sesi Bina Jemaat Mandiri Hingga Peletakan Batu Pertama

Misioner

Maknai dan Mengisi Kehidupan, Tetaplah Melayani, Ada “Injury Time”

Misioner

HUT 25 Tahun Gita Bakti, Ketum Pdt. P. K Rumambi Bangga, Sandra Sambuaga: Bersyukur…