JAKARTA, Arcus GPIB – Teknologi digital, termasuk kecerdasan buatan (AI), diciptakan untuk meningkatkan efisiensi, kecepatan, dan akurasi dalam berbagai hal.
“Kita saat ini memasuki era Society 5.0, di mana manusia dan komputer bekerja sama untuk menciptakan sesuatu yang baru berdasarkan data yang ada,” ungkap Ketua Umum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), Pendeta Gomar Gultom saat menyampaikan sambutan di Rakernas PGIW/SAG 2024, di Hotel Acacia Jakarta, pada 16 hingga 18 Juli 2024 mendatang.
Mengutip laman PGI disampaikan bahwa transformasi tersebut terjadi dengan cepat, mendalam, dan meluas, termasuk dalam penerapan kecerdasan buatan. Profesor Dr. Richardus Eko Indrajit dari Universitas Pradita menyatakan bahwa era ini akan semakin mempertegas kesenjangan antara mereka yang malas dengan yang rajin, yang kreatif dengan yang tidak.
Disampaikan, ada keprihatinan besar terkait penggunaan smartphone yang semakin merajalela di kalangan warga jemaat. Informasi di dunia maya seringkali lebih dipercaya jika disampaikan oleh buzzer daripada oleh pemimpin agama atau pimpinan gereja.
Pendeta Gomar menekankan pentingnya beradaptasi dengan perubahan zaman, terutama dalam menghadapi tantangan utama yang diingatkan dalam Sidang Raya terakhir, yaitu Transformasi Budaya Digital.
“Dunia digital membawa kecepatan, banyaknya pilihan, dan personalisasi, namun juga menimbulkan beberapa permasalahan. Kecepatan dapat mengurangi kesabaran, banyaknya pilihan dapat memunculkan ketidakjelasan dalam pemikiran, dan personalisasi dapat memperkuat sikap individualistik,” terang Pendeta Gomar.
Selain itu, kata dia, sering kali seseorang hanya menjadi konsumen dalam teknologi tapi kurang dalam kreativitas dan inovasi.
Ditunggu-tunggu
Menyangkut Rakernas PGIW/SAG 2024, Pendeta Gomar mengatakan dalam peziarahan oikoumenis selama ini, dirinya menyaksikan dan mengalami Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia Wilayah (PGIW) Sinode AM Gereja-gereja (SAG) seperti ini, sangat strategis dalam mendinamisir gerakan oikoumene.
“Meski Rakernas tidak ada dalam hirarki pengambilan keputusan dalam lingkup PGI, tapi kegairahan teman-teman Pimpinan PGIW/SAG tidak pernah surut untuk mengikuti Rakernas ini dari tahun ke tahun. Malah Rakernas ini sepertinya ditunggu-tunggu, melebihi persidangan oikoumenis lainnya,” tuturnya.
Ia katakan, Rakernas biasanya memang jauh dari pendekatan formal. Suasananya sangat cair dan penuh dengan canda, tapi tak mengurangi sama sekali komitmen pelayanan yang ekumenis. Suasana rapat kerja sangat kental dengan bungkusan persahabatan.
“Dalam setiap kali persidangan, saya berulangkali mengatakan bahwa kita tidak sedang mengadakan persidangan di ruang hampa, tapi di tengah situasi konkrit yang mengitari kita. Istilah kerennya: setz iml eben,” ucapnya. Menurutnya, setiap kesempatan dalam Rakernas selalu digunakan untuk merefleksikan realitas konkret yang ada.
Ia menuturkan, MPH-PGI berharap, agar para pemimpin juga dapat meningkatkan literasi digital, baik di keluarga maupun masyarakat umum.
Di masa lalu, lanjut dia, Gerakan 18-21 mengajak untuk menghabiskan tiga jam dengan 3B: Bermain, Berbincang, dan Belajar bersama. Hal ini menjadi contoh bagaimana kita dapat menghadirkan kebersamaan dalam era digital ini.
Pdt. Gomar menyebutkan, Rakernas PGI kali ini diselenggarakan dengan tema “Spiritualitas Keugaharian: Membangun Kehidupan yang Demokratis dan Berkeadilan serta Politik yang Bermoral dan Beretika.”
“Konsultasi ini diharapkan dapat memberikan inspirasi baru dalam menjalankan panggilan teologis, di tengah tantangan politik dan moral saat ini, khususnya menjelang Pilkada serentak yang akan datang,” imbuhnya.
Pdt. Gomar turut memberikan ucapan terima kasih kepada PGIW DKI Jakarta dan semua yang telah mendukung terselenggaranya Rakernas ini.
“Semoga kita dapat bersama-sama menjaga nilai-nilai etis dan moral, dalam setiap langkah perjalanan oikumene kita di Indonesia,” tutupnya. ***