JAKARTA, Arcus GPIB –Yayasan Hukum Apollos GPIB bekerja sama dengan Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) menggelar beberapa sesi Webinar Pendidikan & Pelatihan Paralegal. Salah satu fokus bahasan soal Hak Azasi Manusia (HAM).
Sesi webinar yang mengangkat bahasan HAK ASASI MANUSIA dan Gereja & HAM pada 21 Februari 2025 menyentuh banyak kenyataan pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia. Dari soal perkawinan beda agama hingga soal gereja yang digeruduk dan kenyataan Negara yang dinilai tidak bisa berbuat banyak menyikapi pelanggaran HAM mengemuka dalam webinar.

Narasumber Ninon Melatyugra, SH, MH

Narasumber Freidelino P.R.A. de Sousa, SH, MH.

Moderator Pnt. Maxi Djelot Alierbitu Hayer, S.H., M.H., CCD, CPIR
Webinar yang dipandu Pnt. Maxi Djelot Alierbitu Hayer, S.H., M.H., CCD, CPIR, yang punya profesi Lawyer ini berjalan dalam semangat menata kehidupan lebih baik kaitannya dengan hukum Hak-hak Azasi Manusia diranah sosial maupun bergereja.
Narasumber Dosen UKSW dan Aktivis HAM Ninon Melatyugra, SH, MH dan Freidelino P.R.A. de Sousa, SH, MH berbicara apa adanya mengungkap kenyataan Negara menjadi banci ketika berhadapan pada kasus-kasus HAM, baik itu soal penutupan gereja ataupun soal kawin beda agama.
Hieronimus Kevin, peserta Program Doktoral Hukum S-3 UKSW dalam kesempatan itu mengatakan, topik HAM dalam konteks agama memang sangat menarik.

Personel Yahun Apollos GPIB Rinus Sinjal dan Prastopo dalam sesi webinar HAM

Peserta webinar antusias mengikuti hingga tuntas dan menanyakan berbagai hal soal HAM.
Tapi, katanya, HAM juga terkadang membatasi kebebasan manusia untuk memiliki agama pilihannya sendiri, semisal, dalam suatu keluarga, ada salah satu anggota keluarga yang memilih untuk berbeda agama. Ini, kata Hieronimus Kevin, tidak lepas dari pandangan miring dari lingkungan sekitarnya.
Bahkan saat sudah memasuki usia dewasa/cukup menikah pun, sering sekali terjadi cinta beda agama. Jika kausalitasnya dengan pertanggungjawaban Negara terhadap individu, Negara tidak memberikan kebebasan kepada pasangan beda agama untuk melakukan pernikahan dengan adanya SEMA No. 2 Tahun 2023 yang secara resmi menghimbau Hakim untuk tidak mengabulkan permohonan pencatatan pernikahan beda agama.
Terhadap hal itu, Kevin mempertanyakan: ”Apakah di kemudian hari, peraturan ini akan menjadi lebih fleksibel mengingat ada beberapa agama yang memperbolehkan pernikahan beda agama dengan syarat-syarat tertentu.”
Narasumber Ninon Melatyugra mengatakan, HAM itu sifatnya alami. Dia itu tidak boleh dihapus oleh siapapun. Spesialnya HAM berlatarbelakang kemanusiaan normatif. Humanity karena orang itu punya akal budi, punya hati nurani, ciptaah tuhan yang paling tinggi, yang tidak dimiliki oleh mahkluk ciptaan Tuhan lainnya.
”Dari sisi aspek Hukum, kemanusiaan ini, itulah hukumnya. Karena kemanusiaan itu adalah hukum maka kita orang yang belajar hukum, maka kita akan memahami HAM itu sesuatu yang normatif,” tutur Ninon.
Manusia itu, tidak terlepas dari posisi Negara. HAM itu areanya di public. Maka HAM masuk di hukum Ketatanegaraan karena dalam hukum HAM disitu ada legalrelationship atau hubungan hukum antara Negara dengan individu atau warga Negara.
Narasumber Freidelino P.R.A. de Sousa yang mengulas agama dalam HAM mengatakan bahwa HAM itu adalah hubungan kausalitas antara warga negara dengan Negara. “Tapi jangan lupa, kedudukan kita tidak hanya sebagai warga Negara, tapi juga warga agama,” tandasnya.
Dikatakan, agama itu merupakan Hak Azasi kaitannya agama sebagai lembaga kepercayaan. Agama, kata Freidelino, sebenarnya telah mendahului Negara. Artinya Negara tidak pada posisi yang memberikan kepercayaan kepada warga Negaranya.
Hak untuk memiliki agama merupakan bagian dari Hak Azasi. Karena dia merupakan Hak Azasi, Negara wajib memberikan perlindungan bagi warga Negara dan yang menjalankan kepercayaan.
Usai pemaparan materi yang disampaikan narasumber Ninon Melatyugra dan Freidelino P.R.A. de Sousa peserta gencar bertanya barbagai hal.
Peserta webinar Rivai Sudirman dari GPIB Syaloom Balikpapan mempertanyakan soal legalitas perkawinan umat Islam di Kantor Urusan Agama (KUA) yang mendapatkan Buku Nikah. Sementara Umat Kristen setelah disahkan di Gereja, harus mendaftarkan ke Catatan Sipil lagi.
Sementara Ventje G. Rombot bertanya: Bagaimana HAM diterapkan dalam masyarakat dan Bangsa dan lebih spesifik dalam keluarga, dalam pendidikan,dalam dunia kerja, dalam Pemerintahan, dalam Hukum Positif dan Pengadilan.
Ia juga mempertanyakan bagaimana perspektif agama terhadap HAM. Menurutnya, HAM memiliki dasar moral yang kuat, prinsip-prinsip agama sering selaras dengan nilai-nilai HAM, tetapi juga dapat mengalami benturan dalam aspek tertentu.
Dina Humau dari Bukit Sion Surabaya mengungkapkan kenyataan di lapangan soal larangan beribadah masih terus terjadi di beberapa daerah di Indonesia. Dan bagaimana menyikapi karyawan yang masih bekerja di hari Raya Gerejawi misalnya malam Natal, bahkan di Hari Minggu.
Dina Humau juga menanyakan soal larangan memasang aksesoris Natal di beberapa mall di daerah tertentu di Indonesia seraya berharap penegasan pemerintah terkait pelarangan itu.
Dari GPIB Shalom Jakarta, Yogyanto ES bahkan merilis link soal tingginya kasus-kasus pelanggaran HAM yang dikutip dari CNN Indonesia dan mempertanyakan sejauh mana hukum dan keadilan sudah ditegakkan, termasuk apakah sudah pernah ada studi tentang itu.
Dari Regio 2 – Kalbar, Ebenhaezer menanyakan hakan meminta pencerahan tentang SKB 3 Menteri tentang syarat pendirian rumah ibadah yang pada praktiknya Negara melalui aturan tersebut mempersulit berdirinya tempat ibadah bagi penduduk minoritas.
Sebagai informasi, webinar HAM yang dilaksanakan Yayasan Hukum Apollos GPIB bekerja sama dengan Fakultas Hukum UKSW merupakan Webinar sesi ke-2. Sesi awal telah dilaksanakan pada 15 Februari 2025 mengangkat bahasan HUKUM WARIS menghadirkan narasumber Dosen FH UKSW Indirani Wauran dan Natalia Pingkan Runtukahu serta Mahasiswa Magister Ilmu Hukum (S2) FH UKSW Oliviani Yanto. /fsp