JAKARTA, Arcus GPIB – TUHAN menginginkan agar ratapan kita menghasilkan pertobatan. Tanpa pertobatan, tidak ada pemulihan dan pembebasan. Siapakah yang harus memulainya? Terutama para pemimpin dan pelayan.
Demikian renungan pagi Sabda Bina Umat (SBU) Rabu (26/10/2022) mengangkat tema: “Serukanlah Pertobatan Dalam Hidup” mengurai teks Firman Tuhan dari Yeremia 9 : 17 – 22.
“Mereka (Pemimpin dan Pelayan) hendaknya memberikan teladan tentang sikap hidup yang berkenan di hadapan TUHAN. Demikian pula setiap umat TUHAN diundang untuk bertobat dan menyerukan pertobatan demi kebaikan hidup bersama.”
“Penyesalan memang selalu datang terlambat. Ketika hukuman yang TUHAN rancangkan menjadi kenyataan, seseorang tidak mampu berbuat apa-apa selain menyesal dan meratap. Ratapan menjadi ekspresi dukacita atas kelalaian dan pelanggaran yang berujung pada petaka.”
Ratapan tidak boleh berhenti pada menangisi penderitaan yang adalah konsekuensi dari dosa. Sebaliknya, ratapan harus berujung pada pembaruan komitmen untuk kembali mengasihi TUHAN dan percaya kepada Firman-Nya. Hanya dengan demikian, maka pertobatan mampu memberi energi bagi proses reformasi dalam kehidupan sosial dan spiritual.
Dengan meratap, Israel diharapkan mengakui dan menyesali kesalahan mereka, yakni lalai mendengarkan Firman TUHAN. Namun pada saat yang sama, mereka diingatkan bahwa ratapan bukanlah jalan pintas untuk menghentikan hukuman TUHAN.
Ratapan juga bukan jaminan bahwa keadaan akan segera pulih seperti sebelumnya Sebaliknya, ratapan menolong Israel untuk menemukan kembali relasi mereka dengan TUHAN yang terkoyak akibat kedegilan.
Dengan meratap, Israel diminta untuk berseru kepada TUHAN dan memohon pengampunan-Nya. Dengan begitu, mereka akan menemukan daya lenting untuk bertahan di tengah kesukaran akibat pembuangan.
Laman alkitabonline.org menyatakan yang Tuhan kehendaki adalah pertobatan sejati.
“Mari kita bandingkan diri kita dengan standar yang diminta oleh Tuhan untuk melihat apakah kita memiliki pertobatan yang benar. Kita secara lahiriah melakukan beberapa perbuatan baik, tetapi apakah ini berarti kita tidak lagi berbuat dosa atau melawan Tuhan?
Apakah ini berarti kita telah disucikan? Kita sering hidup dalam keadaan berbuat dosa dan mengaku dosa, dan tidak mampu menerapkan Firman Tuhan, jadi bagaimana kita bisa disebut orang yang benar-benar bertobat? Sebagai contoh, meskipun kita bisa bekerja keras, kita sering menghitung kontribusi kita sendiri, dan memamerkan diri kita sehingga orang lain menganggap kita tinggi dan memandang tinggi kita. Kita masih bisa berjuang untuk reputasi dan kepentingan pribadi kita, dan terlibat dalam perselisihan dan kecemburuan.
Dalam kehidupan kita sehari-hari, kita bisa bersikap toleran dan sabar dengan orang lain dan tidak bertengkar dengan orang lain, tetapi begitu orang lain melanggar kepentingan kita atau menyakiti harga diri kita, bagaimanapun, kita jadi membenci mereka, atau bahkan membalas dendam pada mereka.
Dalam kehidupan rumah tangga kita, kita menyatakan bahwa Kristus adalah kepala rumah kita, tetapi kita egois, selalu ingin mendapatkan keputusan akhir dalam segala hal dan ingin orang lain mendengarkan kita.
Saat menghadapi bencana alam atau bencana buatan manusia, kita menyalahkan dan salah memahami Tuhan, dan bahkan dapat mengkhianati Tuhan.
Dari fakta-fakta ini, kita dapat melihat bahwa tidak peduli berapa banyak perbuatan baik yang kita lakukan dipermukaan, seberapa keras kita bekerja, dan seberapa mampu kita menderita dan membayar harga, ini tidak berarti bahwa kita memiliki pertobatan sejati.
Hanya dengan membuang watak rusak kita dan tidak lagi berbuat dosa untuk melawan Tuhan, barulah kita bisa menjadi orang yang benar-benar bertobat. Hanya orang-orang seperti itu yang dapat sesuai dengan Tuhan dan memenuhi syarat untuk memasuki kerajaan surga. /fsp