Home / Germasa

Senin, 28 Maret 2022 - 10:08 WIB

Dua Penganut Kristen Orthodoks Terus Bertempur, Dimana Kesaksian Gereja?

Sebuah gereja di Ukraina yang rusak setelah penembakan di distrik perumahan di Mariupol, Ukraina. Sumber: christianitytoday.com

Sebuah gereja di Ukraina yang rusak setelah penembakan di distrik perumahan di Mariupol, Ukraina. Sumber: christianitytoday.com

JAKARTA, Arcus GPIB – Perang Rusia dan Ukraina terus berlangsung. Tanda-tanda mengakhiri perang belum juga terlihat. Imbauan gencatan senjata yang digulirkan tidak ada respon berarti dari kedua belah pihak yang bertikai. Perang pun terus berkecamuk, peluru-peluru lepas menghantan kemana-mana, korbanpun berjatuha dari kedua pihak yang bertikai.

Padahal diketahui Rusia maupun Ukraina dapat dikatakan serumpun. Ukraina adalah bekas bagian dari republik Uni Soviet. Dalam sejarahnya, Ukraina memiliki ikatan sosial budaya yang kuat dengan Rusia. Bahkan, bahasa Rusia pun dipakai secara luas di Ukraina. Bahkan dalam misi keagamaan, baik Rusia maupun dikenal sebagai pemeluk Kristen Ortodoks.

Dilansir databoks.katadata.co.id mengutip hasil survei Levada Center, sama seperti Rusia, mayoritas penduduk Ukraina juga beragama Kristen Ortodoks. Survei Pew Research Center pada 2016 mencatat ada sebanyak 78% penduduk Ukraina yang menganut agama ini.

Ukraina juga telah mendirikan Gereja Ortodoks sendiri pada 2018, untuk menandai pemisahan Kristen Ortodoks di Ukraina dari patriarkat Moskow yang sebelumnya memimpin selama satu abad.

Kebijakan politik pemimpin Rusia, Vladimir Putin melakukan agresi ke Ukraina disebut-sebut mengancam kesaksian Gereja.

Situs christianitytoday.com menyebutkan, kemerdekaan Gereja Ortodoks Ukraina dari Gereja Ortodoks Rusia telah menjadi badai kontroversi sejak tahun 2018. Dan dalam The Pillar, JD Flynn dan Ed Condon menjelaskan bahwa para pemimpin Katolik dan Ortodoks Ukraina menuduh Gereja Ortodoks Rusia terlibat dalam sikap militer Putin terhadap Ukraina dan rakyatnya

Dan di tengah semua ini, ada satu tokoh dunia lagi yang memikirkan apa langkah selanjutnya: Sang Paus. Tekanan terhadap Ukraina bukan hanya mengancam rakyat Ukraina saja.

NATO khawatir dengan stabilitas tatanan Eropa. Departemen Luar Negeri AS khawatir tentang orang Amerika yang ada di sana, takut terulangnya bencana Afganistan. Jerman bertanya-tanya apakah ketergantungan mereka pada gas alam Rusia akan menyebabkan krisis energi.

Lalu bagaimana menghentikan perang? “Satu-satunya upaya terbuka untuk penyelesaian damai adalah melalui Majelis Umum PBB. Tentu proses di Majelis Umum PBB harus diinisiasi oleh sebuah negara anggota PBB dan Indonesia dapat mengambil peran ini,” ujar Pakar hukum internasional Universitas IndonesiaHikmahanto seperti dilansir BeritaSatu.com.

Baca juga  Tangkal Radikalisme, 13 Sinode dan Lintas Agama Ikut Workshop Pemuda Penggerak Perdamaian  

Hikmahanto mengatakan upaya damai tidak bisa ditempuh melalui dewan keamanan (DK) PBB. Pasalnya, Rusia merupakan anggota tetap DK PBB yang memiliki hak veto.

Berbeda dengan Majelis Umum PBB, kata Hikmahanto, tidak ada negara yang memiliki hak veto dan semua negara anggota memiliki satu suara yang sama dan semua negara anggota bisa berperan.

“Dalam sejarahnya Majelis Umum PBB pernah melaksanakan tugas menjaga perdamaian. Pada tahun 1950 saat pecah perang di Semenanjung Korea, Majelis Umum PBB mengeluarkan resolusi yang disebut sebagai Uniting For Peace,” paparnya.

Lalu mengapa terjadi pertikaian dua saudara ini? Bukankah perang sangat “diharamkan” dalam kekristenan. Peneliti, Edison Pandjaitan, dalam tulisannya menyebutkan, Tidak ada pengalaman yang paling tragis dan menyedihkan, apabila umat manusia selalu ditimpa oleh perkelahian dan pertempuran dalam medan perang yang menyebabkan jutaan manusia jadi korban dalam sejarah dunia.

“Masalah peperangan adalah masalah kontemporer di mana dunia sedang mencari satu jawaban dari Gereja tentang posisi dan sikap Gereja tentang peperangan,” kata Edison Padjaitan dalam artikelnya yang diberi judul Sikap Gereja Kristiani Terhadap Peperangan.

Lebih jauh Edison Pandjaitan menyebutkan, dunia Kristen mengetahui bahwa yang memulai peperangan tidak lain dan tidak bukan adalah Setan sendiri, seseorang yang pernah namanya disebut “Bintang Timur, putera Fajar” (Yesaya 14:12).

“Setan senang dalam peperangan, karena hal itu akan membangkitkan
rasa kegembiraannya yang paling buruk dalam jiwanya, dan kemudian menyapu bersih para korbannya kepada kebinasaan dan pertumpahan darah,” tandasnya.

Sejak dosa masuk ke dalam dunia ini, maka manusia mulai saling memerangi satu sama lain. Alkitab berkata, “ . . . tiba-tiba Kain memukul Habel, adiknya, lalu membunuh dia” (Kejadian 4:8). Oleh karena itu, sejarah Perjanjian Lama telah dinodai oleh banyak peperangan dan pertumpahan darah antar individu.

Profil Negara Ukraina

Dikutip dari laman Britannica, seperti dilansir Tirto.od, wilayah Ukraina terletak di Eropa Timur. Ia adalah negara terbesar kedua setelah Rusia di benua itu. Ibukota Ukraina adalah Kyiv yang terletak di Sungai Dnieper di Utara-Tengah Ukraina.

Baca juga  Peserta Konsultasi Sinodal Ekologi Berkunjung Pura Agung Jagatnatha

Saat ini, Presiden Ukraina bernama Volodymyr Zelensky. Sebelum memegang posisi itu, ia dikenal sebagai komedian. Ukraina baru sepenuhnya merdeka pada akhir abad ke-20. Tetapi, jauh sebelum itu, Ukraina pernah mengalami periode kemerdekaan yang singkat selama dua tahun, tepatnya 1918-1920. Akan tetapi, selama periode dua Perang Dunia, sebagian wilayah Ukraina diperintah oleh Polandia, Rumania dan Cekoslowakia.

Setelah itu, mereka menjadi bagian dari Uni Soviet. Kala itu, Ukraina memakai nama Republik Sosialis Soviet Ukraina (RSS). Ketika Uni Soviet runtuh pada tahun 1990-1991, Ukraina menyatakan kedaulatannya pada 16 Juli 1990. Setelah Uni Soviet bubar pada Desember 1991, Ukraina memperoleh kemerdekaan secara penuh.

Negara itu akhirnya mengubah nama resminya menjadi Ukraina. BBC menuliskan, Ukraina adalah tanah dataran pertanian yang luas dan subur. Pada tahun 2014, masyarakat Ukraina melakukan pemberontakan terhadap Presiden Viktor Yanukovych yang dianggap pro-Rusia. Hal itu yang membuat pemerintah menjadi condong ke Barat.

Akan tetapi, Rusia memakai kesempatan itu untuk mencaplok semenanjung Krimea dan menyuplai senjata kepada kelompok pemberontak untuk menduduki bagian timur industri Ukraina. Cerita versi panjangnya, seperti dilaporkan CNN, konflik dua negara bekas Uni Soviet itu mulai meningkat pada akhir 2013, terlebih usai munculnya kesepakatan politik dan perdagangan penting dengan Uni Eropa.

Setahun setelahnya, tepat pada tahun 2014, muncul revolusi di Ukraina. Unjuk rasa itu terjadi selama berbulan-bulan dan berhasil menggulingkan presiden Ukraina yang pro-Rusia bernama Viktor Yanukovych. Kekosongan kekuasaan ini dimanfaatkan Presiden Putin untuk mengambil alih wilayah Krimea, itu adalah semenanjung otonom di Ukraina.

Putin juga mendukung pemberontak di provinsi tenggara Donetsk dan Luhansk. Akhirnya, ribuan tentara berbahasa Rusia yang diakui oleh Moskow membanjiri semenanjung Krimea.

Dalam beberapa hari, Rusia menyelesaikan pencaplokannya dalam referendum yang dikecam oleh Ukraina dan sebagian besar dunia. Mereka menganggap itu sebagai tindakan yang tidak sah. /fsp

 

Share :

Baca Juga

Germasa

Gesekan Israel-Palestina, Dubes Zuhair Al-Shun Di Natal GAMKI: Politik, Bukan Masalah Agama

Germasa

GPIB Maranatha dan Polda Jabar Gelar Bakti Religi dengan Bersihkan Lingkungan

Germasa

Dialog Karya Kebangsaan GERMASA: Merangkai Kebersamaan Lintas Agama

Germasa

INTERNASIONAL Bangga Dengan Keharmonisan Beragama Di Indonesia

Germasa

Kasus Bakar AlQur’an: Pemerintah Indonesia Diminta Tekan Swedia

Germasa

KUA Jadi Tempat Nikah Semua Agama, Perlu Diatur

Germasa

Arahan MS GPIB Sikapi Kontestasi 2024: Tahan Diri, Jangan Mengatasnamakan GPIB

Germasa

30 Pendeta GPIB Peserta POK Dapat Pembekalan Dari Romo Suharyo