BANDUNG, Arcus GPIB – Demokrasi di dunia sedang tidak baik-baik saja. Beberapa negara yang dulunya sudah memiliki indeks demokrasi yang baik kini terjungkal karena persoalan internal dan rezim yang berkuasa.
Hal itu terungkap dalam Semiloka “Gereja dan Demokrasi” yang digelar Dept. Germasa GPIB di GPIB Sejahtera Bandung Senin, (28/10/2024) yang dihadiri Fungsionaris Majelis Sinode GPIB dan sejumlah peserta dari berbagai jemaat dan Mupel.
Lalu bagaimana kondisi demokrasi di Indonesia? Jawabnya bervariasi ada yang mengatakan sudah baik karena berjalannya Pemilihan Presiden berjalan lancar tapi ada juga yang mengatakan belum bagus karena adanya politik kartel, poltik dinasti dan politik uang.
Untuk itu gereja diminta bisa untuk mampu berteologi di ranah demokratisasi menata demokrasi di indonesia. Gereja diminta hadir mengatasi krisis demokrasi.
Pengajar dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Dr. Robertus Robert bersama koleganya Neni Nur Hayati, Direktur DEEP mengatakan, gereja sebagai civil society, gereja dapat membantu masyarakat memahami bahwa demokrasi bukan hanya soal politik praktis, tetapi juga menyangkut etika, keadilan, dan kesejahteraan bersama.
Dengan peran itu, gereja bisa menjadi kekuatan moral yang membantu menjaga nilai-nilai demokrasi dan mendorong reformasi ketika terjadi krisis gereja. Sebagai bagian dari civil society, memiliki peran penting dalam melawan krisis demokrasi dengan berfungsi sebagai penjaga moral, fasilitator dialog, dan agen perubahan sosial.
Peran yang bisa diambil gereja adalah dengan mewujudkan gereja sebagai Penjaga Moral dan Etika Publik. Gereja dapat mengingatkan masyarakat dan pemimpin politik tentang nilai-nilai moral dan etika dalam kehidupan publik.
Dalam krisis demokrasi yang ditandai dengan korupsi, ketidakadilan, atau penyalahgunaan kekuasaan, gereja bisa berfungsi sebagai suara moral yang mendesak kejujuran, keadilan, dan akuntabilitas.
Gereja dapat mempromosikan dialog antar-kelompok di masyarakat yang mungkin terpolarisasi. Ketika terjadi krisis demokrasi, masyarakat sering terbagi dalam kelompok-kelompok yang saling curiga dan enggan bekerja sama.
Gereja, dengan jaringan dan pengaruhnya, dapat menjadi wadah untuk menyatukan perbedaan dan membangun pemahaman lintas kelompok.
Gereja bisa mendorong jemaat untuk aktif berpartisipasi dalam proses demokrasi, seperti pemilu, tanpa terjebak dalam agenda populisme atau politik identitas. Dengan mengajarkan pentingnya pemilihan yang jujur dan adil, gereja dapat membantu membangun kesadaran bahwa demokrasi yang sehat membutuhkan keterlibatan aktif dan kritis dari masyarakat.
Dalam era krisis demokrasi, propaganda dan misinformasi sering digunakan untuk memanipulasi opini publik. Gereja bisa berperan sebagai agen informasi yang dapat dipercaya dengan mengedukasi jemaat tentang literasi digital dan pentingnya mengonfirmasi kebenaran informasi yang mereka terima.
Robertus Robert mengatakan, untuk menentukan apakah suatu negara sedang mengalami krisis dalam demokrasi atau tidak, dapat dilakukan dengan evaluasi mandiri.
Indikator performa demokrasi dapat diukur melalui beberapa aspek yang mencerminkan kualitas dan efektivitas sistem demokrasi suatu negara.
Indikator itu dapat dilakukan dengan melihat Partisipasi Pemilih. Tingkat partisipasi dalam pemilihan umum, termasuk jumlah pemilih yang terdaftar dan yang memberikan suara.
Kebebasan Berpendapat dan Pers: Tingkat kebebasan media, keberagaman sumber informasi, dan perlindungan jurnalis dari ancaman atau intimidasi. Kualitas Pemilihan Umum: Penilaian terhadap kebebasan dan keadilan proses pemilihan, termasuk transparansi, akuntabilitas, dan integritas pemilih.
Juga dapat dilihat melalui kinerja institusi pemerintah dalam melayani publik, termasuk efektivitas, efisiensi, dan akuntabilitas. Perlindungan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia, termasuk kebebasan berkumpul, berorganisasi, dan berekspresi. /fsp