Oleh: Dr. Wahyu Lay, GPIB Cipeucang
ARISTOTELS, dalam bukunya Metafisica menuliskan bahwa manusia adalah makhluk yang dalam kodratnya selalu ingin tahu, manusia adalah makhluk yang senantiasa ingin mengenal.
Dan jika seseorang atau kita tahu, maka berarti kita tahu tentang sesuatu – tidak mungkin kita tahu tentang ketiadaan, nothing. Jadi hal itu selalu memiliki objek: kita tahu tentang mobil karena kita dapat melihat mobil tersebut.
Lalu bagaimana kita tahu tentang kehendak Allah dalam kehidupan yang kita jalani, yang melaluinya kita kemudian mematuhi kehendaknya dan menjalani kehidupan ini dengan kepatuhan tersebut. Bukankah Allah adalah pencipta dan kita adalah ciptaan, bagaimana mungkin kita dapat mengetahui pencipta kita secara sempurna?
Jangan-jangan yang kita tahu tentang Allah adalah dari sebatas apa yang kita pahami tentang Allah.
Saya teringat akan alegori Plato, dimana dia melukiskan kisah tentang orang-orang yang hidup di dalam gua. Sementara mereka tinggal di dalam gua, dan kemudian mendapati cahaya menerpak objek dan kemudian bayangan objek itu memantul di dinding gua. Saat itulah mereka mengira bahwa mereka telah melihat realitas yang sesungguhnya.
Padahal yang mereka lihat adalah bayangan dari sebuah objek, dan bayangan tersebut dianggap sebagai realitas yang sesungguhnya.
Allah yang hadir, di baptiskan, berkarya, menderita dan di salibkan serta mati di antara manusia melalui Yesus Kristus. Saat itulah Allah yang tidak terjangkau menjadi Allah dalam kehidupan sehari-hari.
Saat itulah jarak antara “surga” dan “dunia” yang terpisah jauh menjadi terjembatani. Allah dalam Yesus Kristus menjadi Allah yang terhampiri dan dapat di pahami. Namun di sisi lain, pilihan Yesus yang demikian menjadi keteladanan yang indah bagi setiap kita para pemercayaNya tentang apa artinya kepatuhan kepada kehendak Bapa.
Kita sangat mungkin tidak dapat sepenuhnya meneladan Yesus secara sempurna, namun paling tidak setiap kita di ingatkan untuk dapat mengisi kehidupan yang sementara dan singkat ini dengan semua hal yang membuat diri kita pantas.
Kita menjalani kehidupan dengan menghadirkan diri bagi sesama dan semua ciptaan. Dimana melalui kehidupan yang kita jalani, banyak orang di perjumpakan dengan Tuhan lewat perjumpaannya dengan kita.
Ketika cinta kasih Tuhan menjadi nyata dalam cinta kasih kita bagi semua. Kita juga dapat menjalani kehidupan sebagaimana seharusnya kita menjalaninya: hidup dengan sopan dan pantas, tidak melakukan dan mengerjakan segala sesuatu yang tidak berkenan di hadapan Tuhan dan di hadapan sesama.
Dengan cara yang demikian maka kita menyatakan iman kita bukan lewat dogma dan ajaran tetapi lewat kehidupan dan keseharian. Bukan lewat khotbah atau seminar tetapi lewat aktivitas dan kegiatan dari waktu-waktu kehidupan. Bukan lewat studi-studi akademik tetapi lewat pengalaman-pengalaman empirik. ***