BALI, Arcus GPIB – Mencari ilmu sampai ke negeri China, sekarang hadir secara berlimpah di ruang-ruang privat, dan bisa diakses dengan mudah hanya dengan memanfaatkan gadget pintar yang semakin hari semakin murah harganya.
Dalam situasi ini, pengelolaan pengetahuan untuk meningkatkan produktivitas, toleransi, dan solidritas, dalam rangka pelayanan kemanusiaan dan lingkungan harus sungguh-sungguh menjadi perhatian agama-agama. Dengan begitu, aplikasi pengetahuan memiliki signifikansi etisnya bagi transformasi kehidupan yang lebih bermartabat.
Pernyataan itu disampaikan Sekretaris Umum PGI, Pdt. Jacklevyn Manuputty dalam sesi “Religious Council Talks” yang memanggungkan nara sumber dari enam lembaga agama dalam acara Konferensi internasional ke-21 mengenai studi-study Islam (The 21st AICIS Annual International Conference on Islamic Studies) berlangsung dengan semarak di dua wilayah berbeda, Lombok dan Bali. Kegiatan di Bali bertempat dia Hotel Four Points Nusa Dua, 3-7 Oktober 2022.
Dilansir laman PGI, terkait aspek Ketahanan Sosial, Manuputty menggaris-bawahi disrupsi transformasi digital bagi ketahanan sosial, terutama ketika kelompok-kelompok masyarakat tak bisa beradaptasi dengan dampak dari era transformasi digital.
Jarak sosial akan semakin melebar antara kelompok masyarakat yang mampu beradaptasi dengan komunitas yang bahkan tak memiliki kecukupan akses untuk memanfatkan kemajuan teknologi digital. Indonesia sangat luas dan beragama, begitu pula keragaman dalam kemampuan untuk beradaptasi dengan kemajuan.
Selain implikasi disrupsi transformasi digital bagi ketahanan sosial, Manuputty juga mengingatkan berbagai situasi yang saat ini turut berdampak pada melemahnya ketahanan sosial, seperti Pandemi Covid-19, bencana alam dan bencana sosial, politisasi dentitas dan perkembangan populisme.
“Tingkat frustrasi dan bunuh diri meningkat dari waktu ke waktu. Beberapa hari yang lalu di Jakarta, pemuka-pemuka agama menandatangani deklarasi bersama antaragama untuk mengelola berkembangnya kasus-kasus kesehatan jiwa dan kecenderungan bunuh diri yang meningkat di tengah masyarakat,” ungkap Manuputty.
Mengakhiri ulasannya pada acara pembukaan yang dihadiri oleh lebih kurang 350 peserta dari seluruh Indonesia, Manuputty menegaskan peran penting agama-agama saat ini.
“Sejak dua dekade lalu, lembaga-lembaga sekular dan berbagai agen pembangunan semakin sadar akan peran penting agama-agama yang tidak bisa dilepas-pisahkan dari kerja-kerja pembangunan dunia.”
Manuputty menegaskan, dalam seluruh tantangan dan peluang ini, agama-agama harus sungguh-sungguh mempersiapkan dirinya dan bekerjasama untuk meningkatkan relevansi misinya di tengah dunia yang sedang berubah.
Ada dua peran eksistensial yang harus dilakoni agama-agama saat ini, menurut Manuputty. Pertama, tugas penting agama-agama saat ini adalah menjadikan dirinya sebagai ‘sumber makna,’ jalan bagi masyarakat untuk menemukan makna hidup yang pasti dalam perkembangan kontemporer yang berlangsung cepat dan masif.
Kedua, agama-agama harus menempatkan dirinya sebagai ‘penggerak solidaritas kemanusiaan’ yang selalu siap mendampingi masyarakat untuk meningkatkan ketahanan sosial di tengah berbagai tantangan perubahan yang terjadi di sekitarnya.
“Untuk mengimplementasi dua peran itu maka dialog dan kerjasama antaragama bukan lagi merupakan pilihan tetapi sebuah keharusan,” tukas Manuputty.
Menurut Pdt. Jacklevyn, perkembangan digitalisasi dalam kehidupan berlangsung sangat cepat dan masif. Percepatannya jauh meninggalkan kepampuan adaptasi gereja-gereja. Perkembangan ini turut mempengaruhi manajemen pengetahuan yang juga mengalami transformasi dengan cepat. /fsp