JEMBER, Arcus GPIB – Kegiatan Peduli Anak-Anak Korban Pekerja Migran Indonesia akan dibuka di Tanoker Ledokombo, Jember Jawa Timur, Jumat (22/11/2024). Fungsionaris Majelis Sinode GPIB akan hadir dalam kesempatan tersebut yakni Ketua II Pendeta Manuel Raintung, S.Si, MM dan Sekretaris II Pendeta Emmawati Yulia Rumampuk – Baule, S.Th, M. Min.
Dari Dept. GERMASA hadir Ketua Departemen Penatua Alex Mandalika dan jajarannya beserta tim pendukung lainnya termasuk narasumber yang akan menyampaikan materi seputar kebhinekaan dan kebangsaan.
Kegiatan Peduli Anak-Anak Korban Pekerja Migran Indonesia ini akan digelar selama 3 hari yakni 22 – 24 November 2024. Hari pertama ini beberapa narasumber antara lain Pendeta Boydo Hutagalung akan memaparkan materi ”Indonesia itu Bhinneka”, Alex Mandalika dengan materi “Anak Muda sebagai Agen Tranformasi Sosial”.
Tujuan digelarnya acara ini untuk meningkatkan peran gereja peduli terhadap anak-anak korban pekerja migran dalam gerakan bersama komunitas lintas iman.
MS GPIB dalam Edarannya menyebutkan, keberadaan Gereja di tengah-tengah kehidupan bermasyarakat dan bernegara dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia tentulah menjadi concern gereja (GPIB) untuk turut responsif dan proaktif terhadap segala isu maupun tantangan zaman yang dihadapi oleh bangsa Indonesia dewasa ini.
Salah satu isu yang ada di tengah masyarakat adalah persoalan buruh migran atau tenaga Kerja Indonesia (TKI) bagi masyarakat pedesaan yang saat ini masih menjadi pilihan menarik.
Desakan ekonomi dan minimnya lapangan kerja menjadi hal tidak terhindarkan sehingga mendorong masyarakat mencari kehidupan yang lebih baik di luar negeri.
Persoalan yang muncul kemudian adalah kondisi dan perkembangan anak-anak yang ditinggalkan orang tuanya yang bekerja di luar negeri. Mereka kehilangan pengasuhan dan pendampingan dari orang tua yang akan berpengaruh pada pertumbuhan dan mental anak-anak tersebut.
Mengapa diadakan di Tanoker? Itu karena kemampuan Tanoker, Jember mampu menangani kisah-kisah sosial di masyarakat kaitannya dengan Anak-Anak Korban Pekerja Migran.
Tanoker jeli melihat permasalahan tersebut. Dengan aset yang ada mereka membangun jaringan dan berupaya melakukan aksi pemberdayaan secara nyata sehingga dapat memperbaiki kesejahteraan masyarakat.
Pemberdayaan yang dilakukan dengan prinsip “3 Ur” (Sumur, Dapur dan Kasur). Memberdayakan sumber air, bahan makanan yang sehat (bahan makanan organik dan bebas vetsin), pendidikan seksual, dan pencegahan pernikahan dini pada anak-anak.
Istilah Tanoker berarti kepompong dalam bahasa Madura yang harapannya dapat mendorong transformasi dalam mengentaskan persoalan pendidikan, kesehatan, dan kemiskinan. /fsp