CIPUTAT, Arcus GPIB – Pusdiklat Tenaga Teknis pada Badan Litbang dan Diklat (Balitbang Diklat) Kementerian Agama, memberikan bimbingan teknis (bimtek) tentang moderasi beragama kepada para Dai Kebangsaan dan Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) tingkat Provinsi. Bimtek berlangsung di Kampus Pusdiklat Tenaga Teknis Pendidikan dan Keagamaan Ciputat Tangerang Selatan.
Laman Kemenag RI seperti disampaikan Kepala Balitbang Diklat Kemenag Suyitno mengatakan, pelatihan moderasi beragama merupakan salah satu program prioritas pemerintah dan mandat bagi Kementerian Agama. Tujuannya, memberikan inside tentang moderasi beragama dan men ‘taukid’ gerakan moderasi di komunitas masing-masing.
Suyitno menjelaskan, Moderasi Beragama bukan mazhab atau faham baru. Cikal bakal konsep dan program ini sudah tercetus dan dilaksanakan sejak era Gubernur H. Alamsyah Ratu Perwiranegara pada 1980 dengan konsep Trilogi Kerukunan Umat Beragama. Konsep ini meliputi Kerukunan intern umat beragama, Kerukunan antar umat beragama, dan Kerukunan antara umat beragama dan pemerintah
Kenapa Moderasi Beragama harus dibangun? Bukan agamanya karena agama itu sudah Tammam dan Tamat. Menurut Suyitno, sasaran Moderasi Beragama adalah umatnya (pelakunya). Sebab, masih ada sebagian pihak yang memgekspresikan keagamaannya tidak secara Islam ya’lu wala yu’la alaihi.
Ketua II Majelis Sinode GPIB Pendeta Manuael E. Raitung dalam suatu kesempatan mengatakan seperti dilansir fkub.org, moderasi beragama harus dipahami dengan baik. Penguatan kerukunan beragama di Indonesia diharapkan bukan hanya tercipta dan terjaga, melainkan juga dapat tumbuh berkembang di seluruh pelosok Nusantara.
Kerukunan beragama diharapkan bukan hanya difahami dan menjadi tugas pemuka agama saja, melainkan juga tugas para pemeluknya, baik para pejabat negara, politisi, pengusaha, dan semua kalangan masyarakat, termasuk “wong cilik”.
“Strategi menjaga kerukunan beragama, selain dengan menumbuhkannya, kita juga perlu mendiseminasikannya ke masyarakat dunia. Fenomena globalisasi, stateless, post truth, “rezim netizen”, sosial media, dan terciptanya “global village” telah membuat hilangnya batas terjadinya transaksi informasi, yang dalam sisi negatifnya, dapat menjadi ancaman terhadap upaya menjaga kerukunan beragama,” tandas Pendeta Manuel. /fsp