JAKARTA, Arcus GPIB – Soal intoleransi menjadi sorotan dalam Diskusi Seri 1 “Pancasila Sebagai Titik Temu” yang digelar komitas Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) di Geleri Nasional Indonesia, Jakarta 03/09/2024.
Diskusi dilakasanakan dalam rangkaian kunjungan Sri Paus Fransiskus ke Jakarta tanggal 3 – 6 September 2024 dengan beberapa agenda yang telah dijadwalkan, salah satunya adalah melakukan misa di Gelora Bung Karno.
Pembicara dalam Diskusi Seri 1 ini adalah Sinta Nuriyah Wahid dari Yayasan Puan Amal Hayati, Omi komariah Nurcholish Majid dari NCMS, Yudi Latief Cendekiaawan Muslim, dan Bhante Dhammasubho dari Sangha Theravada Indonesia.
Diskusi berlangung dalam suasana semarak dalam keberagaman mengulas hal-hal menyangkut toleransi dan intoleransi yang masih terjadi di masyarakat Indonesia sebagaimana terungkap dalam obrolan peserta denga pemateri.
Terungkap dari Diskusi itu, ada sekolah Islam di Tambun Bekasi yang dianggap tidak Islami karena tidak memisahkan anak lelaki dengan perempuan termasuk soal penggunaan cadar.
Yudi Latif Cendekiaawan Muslim mengatakan, Indonesia adalah tanah yang sudah diolah berbagai peradaban ada Melanesia, Austronesia, Melayu, Cina, Sinisasi, Indianisasi, Persia, Arab, dan Eropa. Semua peradaban ini telah masuk ke Nusantara.
“Cetakan Indonesia itu hidup dalam keragaman. Nenek Moyang kita memiliki cara bagaimana kita hidup dalam keragaman itu,” kata Yudi menyebutkan pemerintah Cina saat ini sedang membuat film histori peradaban Cina.
Soal Bhinneka Tunggal Ika, kata Yudi adalah satu kode penyatuan keragaman Nusantara. Jadi berbagai masyarakat memiliki cara sendiri bagaimana bisa Menyelesaikan masalah kemajemukan. Dalam Bhinneka Tunggal Ika ada pengakuan keberagaman dan pengakuan hakekat kesamaan. “Kita raham agama, ragam etnis, ragam budaya, ragam hirarki sosial. Itu fakta kita,” tandas Yudi.
Bhante Dhammasubho dari Sangha Theravada Indonesia mengatakan, untuk hidup dalam kebersamaan perlu memiliki prinsip hidup kepedulian yang baik terhadap sesaama.
“Harus hidup senang bila melihat orang lain senang. Karena ada orang yang senang melihat orang susah. Itu gangguan jiwa,” kata Bhante Dhammasubho. Yang paling ideal adalah senang melihat orang lain senang.
“Saya itu taat hukum, selibat tidak menikah. Dari 24 jam saya hanya makan satu kali dan tanpa nasi. Saya jalani 40 tahun, kok bisa happy? Sementara orang lain makan berkali-kali, kalau beristri tidak cukup satu. Saya tidak beristri, happy. Apa yang membuat saya happy karena melihat orang lain happy,” imbuh Bhante Dhammasubho.
Sinta Nuriyah Wahid dari Yayasan Puan Amal Hayati dalam kesempatan itu menyapa peserta Diskusi dengan menanyakan agama masing-masing peserta yang hadir. Dari perjumpaan itu, area diskusi yang dipenuhi peserta datang dari berbagai latar belakang agama yakni Islam, Kristen, Katolik, Buddha, Ahmadiayah, Khonghucu, Baha’i, dan alirn kebatinan.
Dalam merawat keragaman, Sinta mengatakan, ia kerap melakukan buka puasa bersama dengan orang-orang termarjimalkan di beberapa tempat dan juga melakuan saur keliling.
Dalam situs Puan Amal Hayati, Shinta mengatakan, hidup harus mengambil langkah untuk membangun solidaritas dan menghormati keberagaman. Harus bergerak untuk memajukan hak semua orang tanpa terkecuali, terutama membela hak-hak perempuan, dan mereka yang rentan dan terpinggirkan.”
“Kita harus mengambil langkah untuk membangun solidaritas dan menghormati keberagaman yang menjadikan Indonesia seperti sekarang ini. Martabat kemanusiaan kita terletak pada universalitas perdamaian dan kemanusiaan. Artinya, kita harus bergerak untuk memajukan hak semua orang tanpa terkecuali, terutama membela hak-hak perempuan, dan mereka yang rentan dan terpinggirkan,” tutur Sinta Nuriyah Wahid. /fsp