JEMBER, Arcus GPIB – Dalam ranah formal toleransi beragama di Indonesia aman-aman saja. Dapat dikatakan situasi aman terkendali. Tapi diranah non formal, ‘Perang’ telah terjadi. Agama satu dengan agama lainnya sedang tidak baik-baik saja.
Menjawab hal ini, Pendeta Boydo Rajiv Hutagalung meminta untuk tidak serta merta mengikuti model berita yang muncul di ranah medsos karena berita-berita kebencian yanag beredar dimedsos diatur da ada orang yang dibayar untuk itu.
”Ranah digital memang alot. Sulit sekali memang dunia digital. Sekali kita masuk disitu kita bisa emosi luar,” tandas Boydo Hutagalung, Pendeta Jemaat GPIB Marga Mulya Yogyakarta ini saat menyampaikan materi di Event Tanoker Jember yang digelar Dept GERMASA, Jumat (22/11/2024).
Pendeta Boydo yang tengah menyelesaikan S-3 di UIN Sunankalijaga, mengutip apa yang pernah disampaikan beberap orang bahwa sebaiknya tidak perlu masuk dalam medsos yang menyebarkan ujaran kebencian.
”Tidak usaha masuk di media sosial, karena kalau orang yang tidak bisa kontrol diri dengan baik ia akan luka batin dan kalau pun nimrung disitu akan dibully,” tuturnya.Menurutnya, komunitas di medsos yang suka menyebarkan ujaran kebencian adalah orang-orang atau komentator bayaran. Dibayar hanya untuk menyebarkan hate speech, ia adalah buzzer.
Soal terorisme di Indonesia, Pendeta Boydo mengatakan, hegemoni Barat telah memicu kemarahan dibanyak tempat. Begitu juga dikonteks lokal ada pemerintah yang tidak mengayomi, pemerintah yang otoriter, penegakan hukum lemah, Pendidikan rendah, marjinalisasi sosial. Itu semua membuat potensi terorisme menjadi sangat tinggi.
Maka, katanya, kalau GPIB ingin meredam terorisme di Indonesia, ini ruang yang harus dikerjakan bersama. GPIB tidak bisa kerja sendiri, harus kerja sama sama Tanoker, harus kerja sama sama yang lain karena isu ini tidak bisa kita kerjakan sendiri.
Toleransi Tidak Cukup
Sikap toleransi dalam pergaulan di masyarakat sepertinya tidak cukup. Sebaiknya tidak hanya sekadar toleransi perlu lebih dari itu.
”Kita perlu melampaui sikap toleransi dan moderasi, yaitu kemauan berdialog lintas iman aktif melakukan dialog lintas iman, karena dengan dialog banyak prasangka dapat diklarifikasi, perselisihan dapat didamaikan, hal-hal baik dipelajari, dan banyak tantangan dapat diatasi bersama,” ujar Pendeta Boydo.
Menurutnya, dalam penegakan toleransi selalu ada tantangan. Tantangan berupa kelompok yang bersikap intoleran, hingga berlaku ekstrem dan terorisme. Hal ini dapat disebabkan oleh aspek psikologis, lingkungan sosial, maupun ideologis.
Dikatakan, jati diri Indonesia terkandung dalam semboyan “Bhinneka Tunggal Ika”. Artinya Indonesia berkomitmen mengakui kemajemukan dan bersatu dalam perbedaan demi kedamaian dan kemakmuran negara.
Konstitusi menjamin kebebesan beragama dan berkeyakinan. Sejak semula Indonesia itu dikaruniai Tuhan keanekaragaman. Kekayaan itu harus disyukuri dan dirawat.
Sejak semula masyarakat Indonesia mampu menjaga kesatuan dalam keanekaragaman. Dialog dapat menjembatani berbagai perbedaan dan kecurigaan dari suatu kelompok terhadap yang lain. Kecurigaan dan penilaian buruk sepihak dapat diubah.
Bahkan, imbuh Pendeta Boydo dari dialog antarumat beriman dapat muncul persaudaraan sejati. Tak Kenal Maka Tak Sayang Dari Curiga Menjadi Saudara.
Intoleransi berpangkal dari kebencian. Kebencian bisa berasal dari kebencian terhadap diri sendiri yang berakar dari trauma perlakuan yang didapat pada masa kecil : dianggap bodoh, jarang dipuji, jarang dipeluk, diabaikan, dimaki, dipukul. Akibatnya membenci diri sendiri. /fsp