BOGOR, Arcus GPIB – Program Kemandirian Pesantren yang diinisiasi Kementerian Agama terus mengalami perkembangan. Setelah pembekalan dan pemberian bantuan inkubasi bisnis, kini Kementerian Agama mulai memfasilitasi pembentukan Badan Usaha Milik Pesantren atau BUM-Pes.
Fasilitasi ini dibahas bersama dalam giat Peningkatan dan Penguatan Pengelolaan Badan-Usaha-Milik-Pesantren yang diselenggarakan Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren (PD Pontren). Kegiatan yang berlangsung di Bogor, 15 – 17 Februari 2023, ini merupakan tindak lanjut dari Program Kemandirian Pesantren.
Menurut Direktur PD Pontren Waryono Abdul Ghofur, saat ini ada 609 Pesantren yang menjadi mitra dalam program Kemandirian Pesantren.
“Sebanyak 68 pondok pesantren telah membentuk Badan Usaha Milik Pesantren. Hal ini menjadi penanda bahwa ke depan nantinya pesantren tidak hanya berperan “Tafaqquh fid-din” semata, akan tetapi akan menjalankan tiga peran fungsi pesantren yang telah dituangkan dalam Undang-Undang Pesantren, yaitu fungsi Pendidikan,fungsi dakwah dan fungsi pemberdayaan masyarakat,” ucap Waryono.
Waryono menambahkan bahwa proses menjadi Badan Usaha Milik Pesantren merupakan tahap dari pelaksanaan Program Kemandirian Pesantren sebagaimana terkonsep dalam Peta Jalan Kemandirian Pesantren (PJKP).
Lalu bagaimana dengan GPIB? Catatan Arcus, GPIB juga memiliki Badan Usaha Milik Gereja (BUMG) yang membentuk badan hukum dengan nama PT. Graha Prima Inti Bakti atau PT. GPIB. Harapannya, dengan adanya BUMG ini aset-aset GPIB bisa dikelola.
Mengutip ArcusGPIB.com, Ketua Majelis Sinode GPIB Pendeta Drs. Paulus K. Rumambi, M.Si mengatakan GPIB memiliki BUMG.
“Memang ada BUMG, Badan Usaha Milik Gereja. Namun juga tetap ada dalam pergumulan untuk pemanfaatan aset-aset GPIB kedepan,” tuturnya dalam acara Didakhe dipandu Pdt. Meilanny Perangin-angin, Selasa (15/11/2022).
Menurutnya, dalam pemanfaatan BUMG dalam hal pengelolaan sumber daya gereja dan aset-aset GPIB belum ada keselarasan yang berakibat tarik menarik.
“Masih ada semacam tarik menarik juga diantara kita bagaimana, misalnya, dengan sistem BOT 20, 30 tahun, memang harus orang-orang profesional yang menjelaskan kepada para presbiter supaya benar-benar bisa dicerna dengan baik,” kata Rumambi.
Ia berharap aset-aset GPIB di tempat-tempat strategis bisa dibedayakan dengan baik dan optimal.
“Pengelolaan sumber daya gereja itu juga aset-aset GPIB yang banyak terletak di tempat-tempat yang strategis memang belum optimal diberdayakan. Itu juga menjadi PR kita, tantangan kita,” imbuh Rumambi. /fsp