Home / Germasa / GPIB Siana

Senin, 9 Desember 2024 - 16:54 WIB

Catatan “Tanoker” (2): GPIB Belajar Dari Desa untuk Memberdayakan

Pdt. Boydo Hutagalung dan  Melly seorang ibu yang ikut mendukung Tanoker

Pdt. Boydo Hutagalung dan Melly seorang ibu yang ikut mendukung Tanoker

Oleh: Pdt. Boydo Rajiv Hutagalung, Pendeta GPIB

MULAI 22 sampai 24 November 2024, berbagai utusan jemaat dan Mupel Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB) mengikuti suatu kegiatan mewujudkan kepedulian kepada anak-anak pekerja migran sekaligus belajar dari da komunitas bernama “Tanoker”, bertempat di Kec.Ledokombo, Kab. Jember.

Tanoker, Ledokombo merupakan Komunitas Belajar dan Pemberdayaan Masyarakat yang dirintis oleh Bp. Supo Raharjo dan Ibu dan Ibu Farha Cicik. Bermula dari sebuah fenomena sosial di Ledokombo, di mana banyak anak-anak kecil yang ditinggal orangtuanya karena harus bekerja sebagai buruh migran. Masa kecil mereka dilalui tanpa pendampingan orang tua secara utuh. Bahkan kehidupan anak-anak tersebut tercerabut dari dunia bermain, dunia penuh keceriaan, layaknya dibutuhkan untuk tumbuh kembang anak.

Loket Membaca di Tanoker Ledokombo.

Lebih lanjut dari banyaknya orangtua yang meninggalkan anak-anaknya karena terpaksa bekerja sebagai pekerja migran, ada banyak masalah sosial yang dihadapi oleh anak-anak mereka. Banyak anak yang mengalami ketertinggalan dalam pendidikan, krisis masa kecil, pernikahan usia anak, kenakalan remaja, dll.

Terpanggil untuk menyikapi masalah-masalah sosial tersebut, Pasangan Bp.Supo dan Bu Cicik kemudian membuat sebuah komunitas untuk anak-anak dapat bermain dan belajar bersama. Komunitas itu dinamai “Tanoker”, dari bahasa Madura, yang artinya “Kepompong”. Harapannya melalui Tanoker, anak-anak akan terus berproses dengan baik untuk kelak menjadi insan yang berdaya, unggul, dan bermanfaat bagi banyak orang.

Para peserta Kegiatan “Peduli Anak-Anak Pekerja Migran” tinggal di rumah-rumah masyarakat di sekitar Tanoker. Saya bersama beberapa peserta dan panitia tinggal di rumah Ibu Melly. Ternyata, Bu Melly adalah salah satu warga masyarakat yang ikut mendukung Pak Supo dan Bu Farha dalam perintisan Tanoker. Dalam percakapan dengan Bu Melly, beliau bercerita, “Sekitar 2009 lalu, saya masih bekerja di SD. Lalu saya didatangi oleh Pak Supo dan Bu Melly yang mempertanyakan mengapa anak-anak SD dari pagi sampai sore hanya belajar akademik saja? Mengapa mereka tidak mendapat porsi yang cukup untuk bermain?” Lalu Bu Melly tergugah dengan pertanyaan mereka dan mulai ikut mengupayakan agar anak-anak juga dapat bermain dan belajar. Salah satunya dengan mengajak anak-anak SD ke Tanoker.

Baca juga  Jangan Bangga Menjadi Pendeta, Penatua dan Diaken, Jadilah Seperti Orang Samaria

Dalam kesempatan percakapan dengan dua orang staf Tanoker, Pak Roni dan Mas Ryan, mereka menjelaskan bagaimana keseharian aktivitas di Tanoker. Biasanya Tanoker ramai dikunjungi anak-anak sekitar untuk bermain, membaca, belajar bermusik, membuat berbagai keterampilan secara gratis. Mereka mengembangkan berbagai potensi diri mereka secara menyenangkan dan gratis.

“Mas Boy lihat ada kolam renang di Tanoker kan? Nah itu anak-anak paling suka berenang di sana. Tapi sebelum boleh berenang, anak-anak harus “membeli tiket” yaitu dengan cara WAJIB MEMBACA BUKU dulu, lalu menceritakan bacaannya, setelah itu baru boleh berenang”, demikian dijelaskan oleh Mas Ryan. Menariknya lagi, Mas Ryan adalah alumni Tanoker yang sejak kecil bermain dan belajar bersama Tanoker,lalu setelah lulus dari Universitas Jember, ia kembali menjadi Volunteer di Tanoker.

Baca juga  Untuk Kepemimpinan Misioner, "One Click GPIB" Kenapa Tidak?

Pak Roni, staf Tanoker, menceritakan bahwa di Tanoker anak-anak diajarkan aneka permainan tradisional seperti Enggrang juga diajarkan di sana. Bahkan kegiatan tersebut menjadi event tahunan di Ledokombo. Sering juga mereka bermain bola di lumpur dan permainan-permainan lainnya.

Selain bermain, anak-anak juga diajari bermusik, “Anak-anak bisa bermain Kentongan, Jimbe, dan berbagai perkusi lainnya sambil menyanyi lagu-lagu permainan. Dulu aku pertama kali tertarik ke Tanoker ya karena suka memainkan alat musik jimbe dan diajari oleh Mas Moksa, putra dari Bu Cicik dqn Pak Supo”, kenang mas Ryan.

Pak Roni berkomentar, “Pokoknya di Tanoker anak-anak dianak permainan dan aktifitas yang membuat mereka tidak sibuk dengan gadget.” Rupanya Tanoker memiliki keinginan supaya anak-remaja lebih menikmati dunia nyata ketimbang dunia maya, lebih menggemari kebersamaan dan kerja sama dari pada individualis. Lebih suka yang lokal dari pada melulu kebudayaan luar negeri.

Sekarang Tanoker lebih dari sekadar taman bermain. Ia juga merambah ke pusat produksi ekonomi kreatif masyarakat setempat. Tanomer membekali waega sekitar untuk membuat aneka kerajinan khas Ledokombo, namanya Tanocraft. Bahkan Tanoket dibuka sebagai destinasi wisata perdamaian serta ruang outbond.

Ada banyak sekali yang dapat saya pelajari dari kunjungan singkat ke Ledokombo. Semoga para peserta dari berbagai Jemaat dan Mupel GPIB dapat memetik inspirasi sari Tanoker dan kemudian hari dapat meresponi berbagai masalah sosial di jemaat dan masyarakat dengan cara-cara kreatif. Semoga GPIB terus belajar, mau peduli, dan semangat dalam karya-karya yang memberdayakan.

Share :

Baca Juga

Germasa

Pnt. Maxi Hayer Germasa: Eco Enzyme untuk Kebaikan Sungai-sungai

Germasa

Sidang Sinode BNKP, Menkumham Yasonna:  Peluang untuk Terus Berbenah dan Berinovasi

Germasa

Merawat Perbedaan, Baca dan Diskusi AlQur’an – Alkitab di Gereja

Germasa

Dari POK Germasa Angkatan I/2023: Memaksimalkan Peran Pendeta

Germasa

PGI Belum Tentukan Sikap Terkait Pencatatan Nikah di KUA

Germasa

Meja Registrasi Peserta Konven : Aman

GPIB Siana

Catatan Arcus, GPIB Gereja Paling Aktif: Mupel Sulselbara Kembali Gelar Vaksinasi

Germasa

HUT Bhayangkara Ke-77, Makam Keluarga IKBT GPIB Tugu Jakarta Direvitalisasi