SINGKAWANG, Arcus GPIB – Perlunya optimalisasi peran gereja dalam Ketahanan pangan. Pemerintah tidak mungkin bekerja sendiri harus ada dukungan semua pihak mengatasi ketahanan pangan termasuk tokoh-tokoh agama dan perguruan tinggi.
“Kita melihat Kementerian Pertanian tidak mungkin bekerja sendiri karena itu kita melibatkan tokoh agama dan tokoh masyarakat, media termasuk perguruan tinggi, aparat penegak hukum untuk bersama-sama menunjukan bahwa kita memiliki komitmen,” kata Inspektur Jenderal Kementerian Pertanian Dr. Jan S. Maringka, SH, MH, CGCAE pada Konferdal Germasa GPIB di Singkawang, Selasa (22/08/2023).
Menurut Maringka dalam acara yang dipandu Pendeta Semuel Karinda, penaman pohon di halaman samping gereja GPIB Immanuel Singkawang ini menjadi rangkaian acara Konferdal Germasa dan memperingati 75 tahun GPIB yang akan dilakukan di Padang Sumatera Barat.
Pada kesempatan yang sama, Charles PH Simanjuntak, Ph.D, Dosen di Institut Pertanian Bogor dan juga Sekretaris UP2M-Departemen Pelkes GPIB mengatakan, gereja punya akses strategis untuk berkontribusi dalam mengatasi krisis pangan.
Melalui GERMASA bisa membangun kemitraan dengan pemerintah, LSM, masyarakat untuk diversifikasi, penguatan dan pengembangan produk pangan lokal. Dan melalui PPSDI-PPK dilakukan Ketahanan pangan dan kecintaan akan lingkungan hidup dalam kurikulum pembinaan di semua jenjang PA, PT, GP, Katekisasi Sidi, PKB, PKP, PKLU. Dan untuk PEG & Inforkom-litbang bisa dilakukan Pemasaran, promosi, penguatan kelembagaan atau organisasi, riset dan pengembangan ekonomi jemaat.
Disampaikan, kemandirian Pangan adalah kemampuan negara dan bangsa dalam memproduksi Pangan yang beraneka ragam dari dalam negeri yang dapat menjamin pemenuhan kebutuhan pangan yang cukup sampai di tingkat perseorangan dengan memanfaatkan potensi sumber daya alam, manusia, sosial, ekonomi, dan kearifan lokal secara bermartabat.
Langkah konkrit, kata Charles Simanjuntak yang juga warga GPIB Sumber kasih Jakarta ini dalam mengatasi krisis ketahanan pangan, memanfaatkan lahan-lahan gereja yang selama ini tidak dimanfaatkan untuk tanaman pangan dengan membentuk kelompok tani; Pencegahan sampah makanan. Pentingnya menghargai pangan.
Hal lainnya tidak membuang makanan, melakukan diversifikasi bahan pangan komoditas lokal, mengonsumsi pangan lokal, memperpendek rantai distribusi yang panjang yang berakibat pada tingginya jejak karbon, pembekalan ketrampilan bertani.
“Gereja mengedukasi umatnya untuk turut bersama-sama memproduksi pangan dalam konteksnya masing-masing, dengan pendekatan pola bertani organik dan ramah lingkungan,” imbuhnya.
Pada kesempatan yang sama tokoh masyarakat Dayak Dr. Ir. Kristianus, M.Si mengatakan, ketersediaan pangan di Kalimantan bisa dikatakan mencukupi dengan berbagai varian pangan beras, ubi dan ketela. /fsp