PADANG, Arcus GPIB – Departemen GERMASA GPIB kembali melangkah kedepan dan terus membuat terobosan baru, setelah Surabaya, Singkawang, kali ini Padang jadi saksi Dialog Kebangsaan yang dirangkaikan dengan HUT – 75 GPIB.
Dengan mengangkat tema “Membangun dan Merawat Kebhinekaan sebagai Penggerak Kemajuan Indonesia yang Berkeadilan dan Berkeadaban” acara ini disiarkan Live dari Ballroom Hotel Truntum, Padang, Sumatera Barat, 31 Oktober 2023 yang menghadirkan 6 tokoh publik salah satunya Dr. KH. Lukman Hakim Saifuddin dan dipandu oleh Host yang luwes, energik dengan suara yang khas, yang lagi kuliah S3 di Riau, Pendeta Meilany Risamasu, M.Th.
Tidak hanya Lukman Hakim Saifuding, Dialog Kebangsaan ini juga menghadirkan Narasumber Ratu Ida Pangelingsir Agung Putrasukahet, Yudi Latief, Ph.D, Prof. Binsar J. Pakpahan, Ph.D, Prof. Angel Damayanti, Ph.D, Prof. Dra. Corrina D. Silalahi, Ph.D. Acara dipandu Pendeta Meilany Risamasu, M.Th.
Diawal sesi Meilany memberikan pertanyaan mendalam kepada Dr. KH. Lukman Hakim Saifuddin “Bagaimana Peran Pejabat Publik / Politisi dalam Mewujudkan Demokrasi yang dilandasi oleh Bhineka Tunggal Ika sebagai Dasar Negara secara khusus ditengah Tantangan Politik Identitas berbasis Agama dan Etnisitas dalam dinamika Politik Indonesia“.
“Pertama–tama saya sampaikan ucapkan syukur terlebih dahulu sekaligus kebahagiaan karna bisa ikut serta dalam peringatan 75 tahun GPIB dan bentuk syukur itu adalah bagaimana kita bisa menjaga , memelihara apa yang telah ditorehkan oleh para leluhur , para pendiri GPIB serta mengembangkannya sesuai dengan situasi dan kondisi yang kita hadapi,” kata Lukman.
Ketua Panitia HUT GPIB Ke-75 Olly Dondokambey menyerahkan plakat kepada Narasumber.
Mantan Menteri Agama Republik Indonesia periode 2014 – 2019 ini, merawat Kebinekaan tidak hanya bagi penyelenggara negara / pejabat yang sedang mendapatkan amanah kepercayaan untuk memimpin kehidupan kita berbangsa dan bernegara, tapi semua seluruh warga negara dan seluruh anak bangsa dan ketika ingin merawat kebhinekaan yang pertama perlu dipahami dengan baik adalah memaknai apa itu perbedaan dan bagaimana menyikapi perbedaan itu dengan bijak karena perbedaan itu Given.
“Itu (perbedaan) keniscayaan, itu kehendak Tuhan, sesuatu yang tak mungkin bisa kita ingkari. Yang kedua setelah kita mampu memaknai maka harapannya bagaimana penyikapan itu ditengah-tengah kemajemukan kita, oleh karenanya demokrasi adalah sebuah cara kesepakatan kita bersama dalam keberagaman aspirasi yang ada diantara kita,” tutur Lukman.
Membangun konsensus itu pesan utama agama, semua agama punya ajaran yang sama dan setiap kita umat beragama berkewajiban mentaatinya. “Kenapa?” tanya Lukman: “Karena kita berbeda, fitrah kita beragam dihampir semua aspek kehidupan dan itu menjadi keniscayaan.”
Dalam konteks Indonesia, kata Lukman, agama itu menduduki posisis yang begitu vital atau central, tidak ada etnis atau suku atau ras yang hidup di wilayah Nusantara yang tidak mengkaitkan aspek kehidupannya dengan nilai–nilai agama.
Nilai–nilai agama itu tidak hanya menjadi titik pijak ketika melangkah , melainkan sekaligus arah orientasi kemana hendak menuju dan ajaran agama itu tidak perlu dipersoalkan tapi bagaimana cara memahami dan mengamalkannya.
Ada dua hal mengapa Tuhan menciptakan dan mewujudkan keragaman, yang pertama perbedaan itu sesungguhnya anugerah Tuhan dan cara-NYA memberikan sebenarnya sangat terbatas dan didalam perbedaan tersebut bisa saling mengenali, saling berinteraksi, saling berkomunikasi, saling melengkapi dan saling bersinergi itu sebenarnya makna dan hakekatnya bukan justru mensegregasi.
Karena itu, kata Lukman, ada upaya untuk merekatkan bukan menyeragamkan menjadikan satu tapi masing-masing dengan perbedaannya itu terkoneksi. Yang kedua, perbedaan itu pada hakekatnya adalah ujian. Tuhan menaikkan harkat, derajat dan martabat dengan cara diberikan ujian dan bentuknya adalah perbedaan.
“Sekeras, sebesar, setajam apapun perbedaan diantara kita jangan sampai mengingkari inti pokok ajaran agama. Secara simplistis atau sederhana ajaran agama itu ada dua bagian, pertama ajaran agama yang Universal yang Inti dan yang Pokok ini tak bisa disimpangi,” tandas Lukman.
Dalam kondisi apapun, kata dia, tujuannya adalah memanusiakan manusia, menegakkan keadilan, persamaan didepan hukum, jangan membunuh, jangan mencuri, jangan menipu dan kedua ajaran agama yang articular (cabang) cukup disikapi dengan toleransi, saling menghargai, saling menghormati keragaman.
“Secara holistik peran penyelenggara negara dan kita semua kembali kepada ajaran agama yang universal, jangan berlebih–lebih dalam beragama atau extreme dalam memahami dan mengamalkannya, yang extreme harus kita bawa ke tengah menjadi moderat bukan dikucilkan, diexclude, dikafir-kafirkan,” tandas Lukman.
“Orang yang sesat itu dia tidak sedang berjalan dalam Tuhan dan menjadi kewajiban kita untuk mengulurkan tangan dan membawa mereka kembali kejalan Tuhan, itulah hakekat dari moderat,” imbuh Lukman.
Musuh Bersama
Terhadap pertanyaan, Lukman Hakim Saifudin menjawab dengan lugas pertanyaan dari Pendeta Nicodemus Boenga mengenai mimpi bersama dan musuh bersama!
“Kalau menggunakan persepsi agama kita harus bertanya apakah kosa kata diksi istilah musuh dikenal dalam agama. Agama itu tidak mengenal istilah musuh karena agama itu memanusiakan manusia. Perbedaan bukan mengancam kita tapi boleh jadi itu anugerah Tuhan.”
“Oleh karenanya Politik Identitas atau Identitas Bawaan atau Primordial tidak bisa dilepas. Semua kita punya identitas, tak ada manusia tanpa identitas. Dan dalam konteks Indonesia bukan identitas agama yang harus di bawa ke ranah politik pasti kita berbeda-beda apalagi identitas etnis atau budaya.”
“Yang merekatkan kita adalah Pancasila tidak ada yang lain, nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila itulah yang menjadi identitas kita sebagai sesama anak bangsa yang mestinya dibawa ke ruang publik dan ranah aktifitas politik.”
“Berbicara politisasi agama, kita sebagai masyarakat yang agamis tentu tidak bisa meninggalkan agama dan semua penganut agama di Indonesia pasti akan membawa nilai-nilai agamanya kemana saja termasuk dalam ruang politik, privat dan bawalah ke ruang publik yang universal bukan yang articular.”
Pertanyaan juga disampaikan Abram dari GPIB Jemaat “Bukit Zaitun” Duri yang mempertanyakan banyaknya sekolah agama!
“Sekolah agama yang kecenderungannya menjadi exclusive harus moderat menyikapinya, bukan sekolahnya yang kita tolak, bukan agamanya yang salah tapi pemahaman dan pengamalannya kita terhadap agama itu, maka mari beragama dengan lebih mengedepankan inti pokok dari ajaran agama itu sendiri ditengah-tengah kemajemukan yang heterogen.
Jerry Mandalika dari GPIB Jemaat “Bukit Moria” Jakarta Selatan menanyakan soal stratifikasi agama! Agama itu tak mengenal pendekatan stratifikasi yang sifatnya hirarki.
“Agama itu pendekatannya lebih egaliter dan perbedaannya hanya fungsi dan tugasnya saja hak dan kewajiban dan masing-masing punya ketergantungan atau interdependensi dalam kondisi tertentu antar yang satu dengan yang lain,” kata Politisi dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP). /Jp