JAKARTA, Arcus GPIB – Pro-kontra pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kalimantan telah menjadi tantangan sendiri bagi pemerintah Indonesia untuk merealisasikan pembangunan berkelanjutan yang memperhatikan kesejahteraan manusia tanpa mengabaikan keseimbangan alam.
IKN kini semakin mempesona. Apalagi pada peringatan HUT RI ke-79 pada 17 Agustus 2024 telah digunakan sebagai tempat dilaksanakannya pengibaran bendera pusaka yang banyak menarik perhatian tidak hanya didalam negeri tapi juga dari luar negeri atas kemegahan IKN sebagai ibu kota negara yang baru.
IKN terus menghias persada Nusantara yang dibangun dengan memperhatikan perspektif pembangunan berkelanjutan di tengah konteks krisis ekologi yang sedang dihadapi secara global termasuk perlunya pengembangan kesejahteraan bagi manusia secara personal maupun sebagai masyarakat dengan lingkungan hidupnya.
Mengutip Lampiran Edaran tertanggal 6 Agustus 2024 yang diterbitkan STFT Jakarta dan Majelis Sinode GPIB dalam rangka Ibadah Syukur Hari Kemerdekaan RI Sabtu, 17 Agustus 2024 dan Minggu, 18 Agustus 2024 disampaikan bahwa pelestarian alam di negara ini masih berhadapan dengan oknum-oknum tak bertanggung jawab yang sering menyingkirkan aspek keberlanjutan dari aktivitas pembangunan tanpa betul-betul memperhitungkan Analisis Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL).

Presiden Jokowi memimpin Upacara Kemerdekaan Republik Indonesia ke-79 Tahun 2024 di Lapangan Upacara Istana Negara IKN, Penajam Paser Utara, Kaltim, Sabtu (17/08/2024). Foto: BPMI Setpres
Demi meraup keuntungan sebesar-besarnya, beberapa peraturan yang telah ada dalam rangka menjaga keseimbangan alam di tengah kebutuhan akan pembangunan juga turut dilanggar. Pelanggaran terhadapnya sering kali bersifat sistemik dengan melibatkan orang-orang yang berkedudukan sebagai pemangku kepentingan di masyarakat.
Sebagai sebuah negara berkembang, di usianya yang ke-79 ini, pemerintah terus berupaya melakukan pembangunan demi pemerataan ekonomi di semua tempat, khususnya di daerah yang disebut 3T (Tertinggal, Terdepan dan Terluar). Pembangunan infrastruktur dinilai sebagai sebuah langkah awal bagi pengembangan kesejahteraan masyarakat di sebuah tempat. Namun, pembangunan infrastruktur bukan tanpa masalah.
Dalam eksekusinya, kepentingan pembangunan sering bertabrakan dengan isu lingkungan hidup yang menempatkan masyarakat adat sebagai komunitas yang rentan. Tak jarang, kepentingan para elit yang bersembunyi di balik aktivitas pembangunan menyingkirkan suara masyarakat adat, bahkan mengabaikan hak-hak mereka. Pembayaran ganti rugi sering dianggap menjadi cara mudah untuk membungkam suara mereka.
Baik Paulus maupun penulis Injil Yohanes, menggarisbawahi status orang percaya sebagai “orang merdeka” (dimerdekakan oleh Kristus). Bagi Paulus, status ini bukan berarti semata-mata menempatkan orang yang telah merdeka untuk bebas melakukan apa saja secara semena-mena, melainkan terdapat tanggung jawab yang turut melekat pada kebebasan itu sendiri.
Di satu sisi, Paulus menyanggah orang-orang Yahudi yang tetap mempertahankan adat-istiadat sunatnya dan menganggapnya sebagai salah cara untuk menerima keselamatan dari Allah. Namun, di lain sisi, Paulus juga tidak setuju pada kebebasan yang tanpa aturan dan merugikan pihak lain.
Oleh sebab itu, Paulus menekankan adanya kebebasan dan tanggung jawab yang saling melekat di antara keduanya bagai dua mata koin yang tak terpisahkan. Di samping itu, penulis Injil Yohanes juga mengaitkan kebebasan dengan kebenaran. Baginya, kebebasan dari dosa berarti ketataan kepada nilai-nilai kebenaran dalam terang Firman Allah.
Seseorang yang betul-betul merdeka tidak akan menghambakan diri pada dosa yang tampaknya membebaskan, tetapi ternyata merugikan dan menghancurkan. Sebaliknya, seseorang yang merdeka melihat ketaatan kepada Allah sebagai bagian dari kebebasan, karena ketaatan tersebut berujung pada kebaikan dan kehidupan.
Dalam konteks krisis ekologi, perhambaan terhadap dosa dapat berupa hidup dalam ketamakan, keegoisan, keinginan mendapat untung yang sebesar-besarnya, ketidaksetaraan, serta pengabaian terhadap kelestarian alam dan hak-hak masyarakat yang dimarginalkan oleh karena pembangunan yang masif.
Sementara itu, seseorang yang telah dimerdekakan dan hidup dalam kebenaran dapat diartikan sebagai orang yang menyadari bahwa kebebasannya tidak dapat dijadikan sebagai kesempatan untuk menuruti segala hawa nafsunya, termasuk hawa nafsu untuk mengeksploitasi alam demi keuntungan sebesar-besarnya dan kesejahteraan manusia semata.
Orang yang telah merdeka adalah orang yang menyadari bahwa orang lain dan ciptaan lain juga memiliki hak yang sama untuk hidup merdeka dan hidup dengan berlimpah-limpah (bnd. Yoh. 10:10, TB2), sebab Tuhan Yesus Kristus telah memerdekakan dunia ini dari cengkraman kuasa dosa.
Oleh karena itu, alih-alih menguasai yang lain dengan bertindak semena-mena, orang yang merdeka justru bersedia menundukkan egonya dengan sukarela dan menjadikan kebebasannya sebagai kesempatan untuk menciptakan kehidupan yang harmonis dengan sesamanya dan alam ciptaan.
Sallie McFague, salah seorang teolog ekofeminis, memberi catatan bahwa manusia perlu menyesuaikan dirinya sebagai salah satu dari makhluk ciptaan Allah yang berbagi tempat bersama dengan ciptaan lain di planet Bumi.
Manusia perlu menyadari keterbatasan planet Bumi ini sehingga ia dipanggil untuk menyelaraskan kepentingannya dengan kepentingan ciptaan lain. Oleh karena itu, perwujudan kebebasan yang bertanggung jawab bagi alam, ciptaan Allah, adalah melakukan tindakan-tindakan praktis yang tidak hanya mengedepankan keinginan, kepuasan, dan kebutuhan praktis manusia, seperti penggunaan plastik dan sumber daya alam yang berlebihan. Sebaliknya, penerapan gaya hidup ramah lingkungan perlu dilihat sebagai upaya manusia untuk menyelaraskan kebebasan yang dimilikinya dengan kebebasan ciptaan lain untuk tinggal dan hidup bersama secara layak di planet Bumi.
Sebagai seorang yang telah dimerdekakan oleh Kristus, gaya hidup ramah lingkungan perlu dilihat bukan sebagai sesuatu yang membebani karena membatasi “keinginan” dan “kemerdekaan” seseorang, melainkan sebagai bagian dari laku hidup sehari-hari yang bertanggung jawab terhadap lingkungan hidup karena menyadari bahwa manusia tidak dapat hidup tanpa alam.
Dengan kata lain, seseorang yang merdeka melihat kebebasan yang sesungguhnya bagi manusia justru terjadi ketika manusia masih dapat hidup berdampingan dengan alam. Sebaliknya, jika manusia bertindak semena-mena pada alam, sehingga mengakibatkan alam rusak, maka tidak ada kebebasan yang sejati bagi manusia.
Panggilan untuk menjadi penjaga keberlangsungan alam ini perlu dilihat sebagai bagian dari ketaatan kepada Allah, Sang Pencipta. Bagi orang yang sudah dimerdekakan, ketaatan itu dilihat sebagai sebuah respons ungkapan syukur atas anugerah pembebasan yang telah diterima.
“Oleh karena itu, seberapa konsisten kita dalam menerapkan gaya hidup ramah lingkungan dalam kehidupan personal maupun keluarga adalah bagian dari ketataan kita kepada Allah. Sebagai gereja, ketataan kepada Allah juga perlu mewujud melalui munculnya program-program yang berperspektif lingkungan hidup dan memuat aksi-aksi tertentu demi penyelamatan lingkungan hidup.”
Sebagai bagian dari ketaatan kepada Allah, gereja juga perlu didorong untuk bergerak lebih banyak di ranah advokasi di tengah aktivitas-aktivitas pembangunan yang mengancam masyarakat adat sebagai kelompok marginal serta kebebasan hidup ciptaan lain.
Gereja menyadari bahwa persoalan lingkungan hidup tidak dapat diselesaikan sendiri.
Oleh karena itu, berkaitan dengan mewujudkan kebersamaan dalam merespons krisis ekologis, gereja perlu menjadi salah satu pihak yang berinisiatif untuk bergandengan tangan dengan lembaga-lembaga lain, termasuk pemerintah, demi mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang tidak mengabaikan lingkungan hidup.
Oleh: Frans S. Pong,
Pelaksana Redaksi Arcus GPIB