ACEH SINGKIL, Arcus GPIB – Desa Kain Golong, Kecamatan Simpang Kanan, Kabupaten Aceh Singkil, adalah contoh nyata tentang bagaimana masyarakat yang beragam etnis dan agama hidup berdampingan dengan harmonis.
Penduduknya hidup dalam kerukunan, saling menghormati dan mendukung satu sama lain. Pengalaman ini memberikan pesan yang kuat tentang pentingnya perdamaian dan toleransi dalam membangun masyarakat yang inklusif dan harmonis.
Dilansir situs resmi Kemenag RI, Desa Kain Golong memiliki jumlah penduduk kurang lebih 242 KK dengan 983 jiwa. Tercatat sebanyak 172 KK beragama Islam, sementara 70 lainnya beragama selain Islam. Mereka hidup rukun meski berbeda agama.
Berdasarkan laporan pemerintah Desa Kain Tolong, kehidupan sosial agama di desa tersebut 100 persen rukun dan 0 (Zero) konflik agama. Hal ini tak terlepas dari visi desa tersebut, yaitu “Mewujudkan Kampung Kain Golong yang Bertoleransi Sejahtera, Aman, Nyaman, Tertib dan Inovatif”.
Praktik baik ini mendorong Kementerian Agama (Kemenag) Aceh Singkil menetapkan desa Kain Tolong sebagai Kampung Moderasi Beragama di negeri Syekh Abdurrauf As Singkily itu.
Tentu penetapan desa ini karena memiliki alasan yang kuat, yaitu telah memenuhi tiga indikator utama sebagaimana syarat yang ditentukan untuk menjadi kampung moderasi, yakni indeks toleransi yang tinggi, tingkat kesetaraan, dan indeks kerjasama.
Kepala Kemenag Aceh Singkil, Saifuddin, Pj Bupati beserta Forkopimda setempat Rabu, 26 Juli 2023 merilis dan meresmikan Desa Kain Kolong sebagai Kampung Moderasi Beragama. Peluncuran dilakukan di salah satu pesantren di desa itu.
Selain beragam agama, masyarakat Desa Kain Golong berasal dari berbagai suku, di antaranya Pak-pak, Pak-pak Boang, Batak, Jawa. Meski beragam suku dan agama, kerukunan dan toleransi antar mereka tak perlu diragukan lagi.
Catatan Arcus GPIB mengutip BBC Indonesia, pada tahun 2015 karena penerapan syariat Islam gereja sulit dibangun. Bahkan gereja-gereja yang sudah berdiri dirubuhkan.
Jemaat Gereja Kristen Pak-Pak Dairi (GKPPD) Sangga Beru di Gunung Meriah, Aceh Singkil, misalnya, terpaksa melakukan kebaktian di bawah terpal biru yang disulap menjadi atap gereja dengan berlantaikan tanah, setelah bangunan gereja dirubuhkan oleh aparat pada Oktober 2015 karena dianggap tak berizin. /fsp