BOGOR, Arcus GPIB – GPIB Zebaoth Bogor melaksanakan pembinaan kepada warganya yang juga diikuti unsur Presbiter dan Calon Tetap Diaken dan Penatua. Sesi bina mengangkat tema “Memahami dan Memaknai Liturgi Dalam Peribadahan GPIB”.
Cukup banyak peserta yang ambil bagian dalam sesi bina yang pelaksanaannya bekerjasama dengan Kazebo Bogor menghadirkan narabina Pdt. Dina Meijer-Hallatu, Sekretaris Dept. Teologi Majelis Sinode GPIB.
Bahasan menarik manakala narabina menyentuh soal-soal perkawinan dan perceraian apakah kalau sudah bercerai bisa kawin lagi atau tidak. Termasuk membahas tradisi Martumpol di kalangan warga Batak pada umumnya dan juga soal pemakaman cara kremasi
“Bagi pasangan yang sudah bercerai dan harus menikah lagi harus ada percakapan-percakapan khusus,” kata Pdt. Dina Meijer-Hallatu, di Zebaoth Bogor, Sabtu (17/09/2022).
Soal pemakaman kremasi, Persidangan Sinode X GPIB tahun 1970 di Bandungan Ambarawa sudah menetapkan hal-hal itu termasuk mengenai pelaksanaan Ibadahnya.
Mengenai martumpol, tradisi ada Batak, kata Pdt. Dina, pada Persidangan Sinode XXI tahun 2021 di Jakarta ditambahkan beberapa penjelasan terkait ibadah virtual, Martumpol, perkawinan, dll.
Sebagaimana diketahui martumpol adalah salah satu tahap yang wajib dilakukan dalam prosesi perkawinan adat Batak, merupakan perjanjian untuk melakukan pernikahan antara sepasang calon pengantin di hadapan pendeta gereja.
Dalam kesempatan tersebut, Pdt. Dina juga mengajak Presbiter untuk memperhatian dengan baik Tata Ruang saat ibadah, termasuk pencahayaanya agar mata tetap awas dan tidak melelahkan.
“Gedung gereja, khusus ruang utamanya adalah sebagai tempat ibadah jemaat. Tuhan menjadi pusat ibadah jemaat di dalam ruang tersebut, sebagaimana disimbolkan oleh mimbar, bejana baptisan, meja perjamuan dan tempat persembahan,” tuturnya.
Dan tak kalah pentingya adalah Tata Simbol. dalam tananan beribadah, terlebih pelaksanaan ibadah kepada Tuhan, ada banyak hal yang tidak bisa dimengerti dan dinyatakan dengan kata-kata, baik yang ingin diungkapkan kepada Tuhan, maupun yang Tuhan nyatakan.
“Ucapan lidah dan bahasa kita sangat terbatas dan tidak mampu mengungkapkan seluruh misteri, keajaiban dan keagungan Tuhan yang dialami di dalam dan melalui ibadah. Oleh karena itu digunakan simbol-simbol.”
Simbol-simbol itu mencakup bahasa tubuh seperti duduk, berdiri, bersujud, gerakan tangan, mimik wajah, warna-warna dan gambar sesuai tahun gereja pada kain mimbar dan stola serta lilin pada minggu Advent dan Prapaskah.
Menjawab pertanyaan peserta soal pemakaian Toga diranah formal pemerintahan, Pdt. Dina mengatakan, penggunaan Toga di GPIB hanya diperuntukkandalam kondisi khusus, Toga merupakan pakaian liturgis bukan dipakai untuk hal-hal lain.
“Toga itu pakaian liturgis, beda dengan katolik yang bisa memakai toga selain dalam peribadahan,” katanya.
Mengenai musik gereja, Pdt. Dina mengurainya sangat jelas. Menurutnya, musik di gereja salah satu unsur penting dari Tata Ibadah GPIB adalah musik gereja, termasuk nyanyian jemaat. Seperti pemahaman ibadah dan tata ibadah, musik gereja pun berakar di dalam tradisi Alkitab.
“Ini perlu diperhatikan. Tempatkan pujian dengan sebenarnya,” papar Pdt. Dina seraya menyebutkan pujian “Hujan berkat kan tercurah” saat mengumpulkan persembahan. “Itu pujian (Hujan berkat kan tercurah) untuk ibadah Pengutusan bukan untuk pengumpulan persembahan,” imbuhnya. /fsp