JAKARTA, Arcus GPIB – Penolakan perijinan pembangunan gereja yang dilakukan oleh sekelompok masyarakat di Kota Cilegon, Provinsi Banten dan direstui Walikotanya dinilai inkonstitusional. Ini dapat dikatakan sebagai tindakan “Makar” yang harus diatasi.
“Menurut saya, apa yang dilakukan Walikota Cilegon terkategori “makar” karena sudah melawan konstitusi termasuk pula pelanggaran HAM. Konstitusi kita UUD 1945 telah menjamin hak kebebasan beragama dan berkeyakinan termasuk beribadah, ditambahkan lagi dengan PBM 2006 yang menyatakan bahwa peran dan tugas Kepala Daerah untuk menjamin terwujudnya Kerukunan,” tutur Ketua II Majelis Sinode GPIB Pdt. Manauel E. Raintung, S.Si. M.M kepada Arcus Media Network Rabu (14/9/2022).
Jika ada permohonan perizinan tempat ibadah harusnya Kepala Daerah menjamin tidak lebih dari 90 hari penyelesaiannya, jika ada penolakan maka Kepala Daerah dapat mencarikan solusi tempatnya yang dapat digunakan sebagai tempat ibadah.
“Kepala Daerah Cilegon semestinya bisa menyiasati permohonan perizinan tempat ibadah HKBP, bukan sebaliknya menuruti kemauan sepihak dari sekelompok golongan yang intoleran. Begitu pula peran FKUB Wilayah Cilegon sangat tidak berkompeten karena tidak memberikan dampak kerukunan yang berarti,” kata Pdt. Manuel yang juga Wakil Sekretaris FKUB DKI Jakarta ini.
Ia mengusulkan, perlunya dilakukan evaluasi dari pihak Kemenag Daerah Cilegon terhadap ancaman disintegrasi karena adanya penyesatan dimana hak-hak hidup orang beragama dan berkeyakinan dianggap kesalahan.
“Saya kira Gubernur Provinsi Banten harus segera mengambil alih penyelesaian masalah ini, tidak perlu sampai menasional, karena local wisdom perlu dimotivasi Kembali,” tandas Pdt. Manuel yang bebebrapa kali memperoleh penghargaan dalam Kegerakan Nasional Kerukunan Beragama ini.
Sebelumnya, siaran pers Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) mengecam keras aksi penolakan perijinan pembangunan gereja yang dilakukan oleh sekelompok masyarakat di Kota Cilegon, Provinsi Banten.
Peristiwa ini, menurut PGI, membuktikan bahwa politisasi identitas semakin mengkhawatirkan dan mengancam jalinan keragaman. Sungguh mengenaskan bahwa di tengah berbagai bencana yang melanda negeri ini, dan menuntut diperkuatnya solidaritas kebangsaan, masih saja ada kelompok-kelompok masyarakat yang menyakiti saudara sebangsanya.
“Peristiwa ini sungguh mencederai amanat Konstitusi RI yang memberikan garansi kesetaraan bagi setiap warga negara untuk memeluk dan beribadah secara bebas, menurut agama dan keyakinan yang dianutnya,” kata Jeirry Sumampow, Kepala Humas PGI.
Berhadapan dengan situasi ini, kata Jeirry, kehadiran pemerintah mutlak diperlukan, sehingga tidak terkesan membiarkan jiwa konstitusi dilecehkan di hadapan para penguasa daerah.
Peristiwa ini sangat berlawanan dengan semangat Moderasi Beragama yang sedang diarus-utamakan pada semua level pemerintahan dan masyarakat. Peristiwa ini juga sangat bertentangan dengan nilai-nilai Gerakan Nasional Revolusi Mental yang tengah digalakan oleh pemerintah.
“Kita tak boleh lelah mengupayakan dialog dan kerjasama sebagai cara bermartabat untuk mengelola perbedaan dan mengembangkan kerukunan di bangsa ini. Sekalipun begitu, kita tak boleh mengesampingkan terjadinya ketidak-adilan, sekalipun atas nama kerukunan,” ujar Jeirry.
Kebebasan beragama yang bertumpu pada keadilan bukanlah paradoks terhadap kerukunan, namun keduanya harus terintegrasi karena menerjemahkan perintah etis setiap agama.
“Kami menganjurkan umat Kristen untuk tetap mengedepankan nilai-nilai kasih dalam menyikapi peristiwa seperti ini. Hendaklah kita tidak goyah di dalam iman dan keyakinan kita, juga tidak terjebak di dalam kebencian dan dendam, serta generalisasi yang keliru, namun “bertambah-tambah dan berkelimpahan dalam kasih seorang terhadap yang lain, dan terhadap semua orang,” imbuh Jeirry menunjuk I Tes 3: 11-13. /fsp