BINTARO, Arcus GPIB – GPIB Jemaat “Filadelfia” Bintaro mengadakan talk show dalam rangka pembinaan politik bagi Warga Gereja Sabtu (28/10/2023) yang dilaksanakan di Gedung gereja tersebut. Tak tanggung-tanggung, narasumber dalam event tersebut adalah orang-orang yang punya kompetensi.
Siapa saja, Andi Widjajanto, S.Sos, M.Sc, Ph.D – Gubernur Lemhanas RI tidak datang dalam kesempatan itu. Namun pembicara lainnya bisa hadir dengan pemaparan materi yang menarik antara lain, Ray Rangkuti Direktur Lima Indonesia, Pendeta Dr. Jozef M.N. Hehanussa Dosen di Universitas Kristen Duta Wacana dan Jeirry Sumampouw, S.Th Praktisi Politik.
Pendeta Dr. Jozef M.N. Hehanussa meminta gereja jangan menabukan politik – ingatkan selalu warga gereja untuk menjunjung tinggi kebenaran dalam berpolitik, gunakan mimbar gereja untuk menyatakan mana yang benar mana yang salah – jangan diam.
“Kalau Gereja diam, media sosial akan lebih banyak didengar dan dipercaya. Pergunakan media sosial untuk mewartakan kebenaran, bukan kepentingan sepihak,” kata Pendeta yang akrab disapa Otje ini.
Menurut Otje mengutip Aristoteles, politik merupakan hakikat keberadaan manusia dalam bermasyarakat. Manusia adalah hewan politik dan tujuan masyarakat bukan hanya sekadar hidup tetapi hidup yang baik.
Namun, kata Otje, gereja tidak boleh berpolitik musiman hanya untuk memperlihatkan bahwa gereja eksis di masa pemilu. Gereja harus berpolitik sepanjang masa untuk memperlihatkan suara kenabiannya. Justru yang paling dibutuhkan adalah Gereja berpolitik pasca pemilu.
Keberadaan Parpol sebagian besar tak begitu dirasakan masyarakat alias antara ada dan tiada. Dari 74 parpol yang berbadan hukum terdata di Kemenkumham, 48 tidak aktif, 22 aktif secara administrasi. Tetapi ada parpol yang membantu rakyat di masa pandemi Covid-19. Partisipasi politik adalah komponen utama dari kedudukan seseorang sebagai anggota penuh komunitas.
Undang-undang mengatur hak-hak mana yang menjadi hak warga negara yang membuatnya dapat berpartisipasi sebagai anggota penuh dan setara dalam sebuah komunitas. Melalui partisipasi politik setiap warga negara memanfaatkan potensinya sendiri berkaitan dengan hak-hak demokratis secara konstitusional.
Hak-hak tersebut berkaitan dengan kebijakan-kebijakan yang memastikan bahwa hak-hak itu terpenuhi dan untuk mencegah ketidaksetaraan dan kriminal.
Dalam kesempatan itu, Otje juga meminta gereja mengupayakan pemilu damai yang dimulai atau dibangun atas dasar kesadaran bahwa setiap orang bertanggung jawab untuk memberikan yang terbaik bagi bangsanya.
Pemilu damai dimulai sejak setiap orang yang memiliki hak memilih dan dipilih memiliki kesadaran bahwa masa depan bangsa bergantung pada setiap pemikiran, perkataan dan perbuatannya.
“Pemilu harus dimaknai sebagai sebuah pekerjaan baik yang Allah ingin kita kerjakan dengan baik sesuai dengan kehendak Allah untuk kebaikan bangsa dan negara Tuhan mau kita hidup di dalamnya, artinya kita mengambil bagian dalam seluruh proses pemilu ini, baik sebagai orang yang memilih maupun dipilih, dengan melakukan hal-hal yang sesuai kehendak Allah,” tutur Otje.
Mewujudkan pemilu damai berarti melakukan seluruh tahapan pemilu ini sesuai dengan peran setiap orang dan sesuai dengan kehendak Allah.
Lalu bagaimana sosok Presiden yang memenuhi kriteria untuk memimpin Indonesia? Otje menyebutkan beberapa kriteria. Menurutnya kriteria Presiden RI itu orang yang dapat dipercaya, dan yang benci kepada pengejaran suap sebagaimana Keluaran 18:21.
Dikatakan, siapa saja yang ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu, dan siapa saja yang ingin menjadi yang pertama di antara kamu, hendaklah ia menjadi hambamu sebagaimana di Matius 20:26-27.
“Siapa saja yang setia dalam hal-hal kecil, ia setia juga dalam hal-hal besar. Dan siapa saja yang tidak benar dalam hal-hal kecil, ia tidak benar juga dalam hal-hal besar,” kata Otje menyebutkan Lukas 16:10.
Ray Rangkuti Direktur Lima Indonesia dalam sesi bina politik yang terselenggara atas kerjasama Komisi GERMASA dengan Komisi PPSDI – PPK GPIB Jemaat Filadelfia Bintaro ini menyinggung soal politik identitas.
Menurutnya, politik identitas berlaku temporal dan situasional. Karenanya, independensi penyelenggara pemilu harus benar-benar ada, termasuk netralitas ASN. Kampanye tidak tepat waktu dan dilakukan di sembarang tempat.
Ia juga menyebutkan soal politik uang. Politik uang merupakan gejala paling ajeg dan massif di dalam pemilu Indonesia. Politik uang bukan saja pemberian uang dari calon kepada para pemilih, tetapi juga penerimaan dana calon dari berbagai sumber.
Manipulasi perhitungan suara dan penetapan hasil pemilu bisa saja terjadi. Dikatakan, sejak reformasi 1998, Indonesia memasuki era negara demokrasi yang ditandai dengan pembenahan sistem politik, membentuk lembaga negara demokratis, amandemen konstitusi untuk memperkuat prinsip HAM, kesamaan/kesetaraan warga negara, dan masa bakti presiden, memperkuat peran dan partisipasi masyarakat dalam politik, dan lainnya.
Salah satu tanda negara demokratis itu adalah melaksanakan pemilu yang reguler, dilaksanakan oleh badan yang independen. Prinsip utama pemilu demokratis adalah Partisipatif, Refresentatif, Adil, dan Terbuka. /fsp