Gereja Ramah Demokrasi akan menjunjung tinggi perbedaan baik itu lingkup internal maupun lingkup external.
LAUS DEO, terpujilah Tuhan kegiatan semiloka gereja dan demokrasi dapat terlaksana. Di ajang ini peserta bisa berbagi ilmu, share knowledge dari para nara sumber yang mumpuni, ahli dibidangnya dapat diterima dan dimengerti serta memperkaya khasanah tentang demokrasi.
Dalam rangka menuju GPIB sebagai Gereja Ramah Demokrasi, GPIB harus lebih bergerak aktif. Gerakan ini harus terus menyuarakan kehidupan demokrasi saling pengertian dan mau menerima kelebihan dan kekurangan serta mau menghargai kelayakan dan keadilan.
Gereja Ramah Demokrasi akan menjungjung tinggi perbedaan baik itu lingkup internal maupun lingkup external.
Gereja Ramah Demokrasi dapat terwujud jika didalamnya ada kerendahan hati dan merupakan lompatan besar yang telah dilakukan oleh Departemen GERMASA GPIB melaksanakan acara ini yang memang sangat diperlukan baik itu dalam kehidupan pelayanan berorganisasi secara jemaat maupun secara sinodal.
Di hari ketiga kegiatan semiloka menghasilkan rekomendasi tentang gereja ramah demokrasi mengenai skenario dan strategi program dan merupakan usulan serta bahan yang akan ditindaklanjuti oleh Departemen Germasa dalam penyusunan PKA Tahun 2025-2026.
Sebelum menyampaikan rekomendasi tersebut saya melakukan diskusi, brainstorming tentang acara ini dengan KMJ GPIB Immanuel Jakarta, Pendeta Abraham Ruben Persang alias Bung Ruben di GPIB Jemaat Sejahtera, Bandung, 29 Oktober 2024.
Bagaimana melihat semiloka gereja dan demokrasi, Ini adalah kegiatan yang sangat penting, Kenapa! Karna gereja bukan penumpang gelap, bukan tamu, bukan orang asing di negeri ini.
GPIB hadir di Indonesia Sebagai Anak Bangsa Indonesia dan kegiatan yang berlangsung dari tanggal 27 – 29 Oktober 2024 membukakan wawasan kebangsaan kita yang harus kita lakukan sebagai gereja yang merupakan bagian dari mengerjakan Misi Allah.
Kita bukan penumpang gelap maksudnya apa? Jadi 17 Agustus 1945 Founding Fathers sudah memproklamirkan Negara Indonesia yang didalamnya ada orang kristen, ada gereja disana dan kita bebas dari penjajahan kolonial.
Ada dua karakter yang tersisa, yang pertama lepas dari penjajahan tapi tetap menjadi orang yang terjajah, maaf, masih banyak bagian dari negara kita, rakyat kita punya mental terjajah, mental budak, yang kedua untuk orang Kristen dan gereja masih dilekatkan mental atau label sebagai mental penjajah.
Akhirnya yang terjadi, diakui atau tidak dalam prakteknya gereja sering kali mempunyai jarak dengan masyarakat, padahal kita itu adalah bagian utuh dari negara ini, sehingga ketika ada peristiwa-peristiwa penting dan strategis bagi bangsa ini, kita dianggap penumpang gelap karna perilaku kita.
Sudah Berdemokrasi
Bagaimana dengan GPIB! Apakah GPIB sudah berdemokrasi atau demokrasi ada dalam GPIB, ketika kita bicara GPIB, kita bersyukur bahwa keputusan dari tiga gereja mandiri GMIM, GPM dan GMIT di tahun 1948 ketika GPIB didirikan.
Sebenarnya sejak itu GPIB sudah berdemokrasi, Kenapa! Karena ketiga gereja mandiri sudah memutuskan bahwa ada kebutuhan pelayanan di jemaat diluar wilayah mereka dan itu terbuka bukan hanya yang berlatar belakang suku Ambon, Minahasa, Timor tapi terbuka untuk semua.
Jadi dari awal GPIB sudah berdemokrasi bahkan ketika GPIB dengan tegas memilih dan sadar, mulai dari lingkup jemaat sampai dengan lingkup sinodal dan sidang-sidang itu merupakan bentuk demokrasi, GPIB sudah bergerak.
Sekarang ini sudah jalankah demokrasi itu di GPIB atau demokrasi silent! Kalau kita bicara berdemokrasinya ternyata ini dibutuhkan kedewasaan dan memang ternyata belum optimal, belum sebagaimana mestinya, kenapa!
Mohon maaf, misalnya kita masuk dalam pemilihan presbiter, diaken dan penatua sudah ada kampanye gelap, black campaign, sudah ada demokrasi politik, jadi akhirnya yang terjadi bukan demokrasi dengan tujuan besar, visi besar tapi demokrasi itu dipakai untuk kepentingan pribadi sehingga demokrasi itu menjadi turun derajatnya.
Dan dampak besarnya pelayanan tidak berjalan sebagaimana adanya, karna tidak sesuai dengan keinginan Tuhan, tapi keinginan secara individu.
Terus bagaimana dengan proyek besar kita, apakah demokrasi akan berjalan di tahun 2025 atau tidak ataukah ada tebang pilih, Jadi tetap kita sebagai gereja, kita tetap punya keyakinan, tetap punya pengharapan tetapi sekaligus ada tindakan nyata.
Tahun 2025 merupakan momentum bagaimana kita menunjukkan kedewasaan ber-demokrasi, dan ketika ber-demokrasi maka pemilih maupun yang dipilih harus rasional, karna pengalaman-pengalaman yang lalu yang sudah kita tinggalkan, banyak sekali peristiwa demokrasi itu hasilnya tidak maksimal karena pemilihnya irasional, contohnya faktor kedekatan dalam segala hal, segala lini makanya terpih dan dipilih.
Semoga di tahun 2025 tidak terulang lagi, karna suara itu sebenarnya adalah kontribusi nyata untuk pekerjaan Tuhan yang besar dalam rangka Soli Deo Gloria, imbuh KMJ GPIB Immanuel Jakarta.
John Paulus, Yayasan Diakonia GPIB