JAKARTA, Arcus GPIB – Ketua Umum PGI Pdt. Gomar Gultom mengatakan, media mainstream telah dikalahkan oleh media sosial yang begitu cepat menyebar berita, termasuk pemberitaan terkait agama, tanpa proses penyaringan.
Karenanya, seperti dilansir laman PGI, Gomar mengajak sekaligus berharap agar media mainstream bersama-sama memperjuangkan kehidupan yang toleran, dan menghargai kemajemukan di Indonesia.
“Tumpuan NKRI, ada di para jurnalis karena mudah menjangkau pikiran masyarakat,” kata Gomar di acara Pelatihan Mobile Journalism di Kantor IDN Media, Jakarta, Kamis (20/10/2022).
Menurut Gomar, sekarang sudah banyak perumahan berdasarkan agama, jauh sebelumnya tempat pemakaman berdasarkan agama. Ini ancaman.
“Menurut saya jurnalis perlu menyuarakan ini, karena dia tidak hanya mengedukasi tapi juga mengadvokasi,” tandas Gomar seraya meminta pers untuk pro juga terhadap pemberitaan terkait perempuan dan anak.
Peran media, kata Gomar, sekarang ini dalam rangka mewujudkan kehidupan keberagamaan telah berjalan dengan baik, melalui pemberitaan yang berupaya untuk meredam konflik.
Namun di satu sisi, ada juga media yang yang kurang memperhatikan pemilihan kata dan bahasa, sehingga tanpa sadar ikut memprovokasi.
Pelatihan yang berlangsung selama dua hari ini, secara khusus menelisik adanya kecenderungan media massa mengesampingkan isu agama dalam pemberitaan. Padahal berita-berita keagamaan perlu publikasi untuk menunjukkan keberagaman di Indonesia.
Merespon pertanyaan salah seoerang peserta terkait politik identitas jelang Pemilu 2024, Ketua Umum PGI menegaskan, jika politik identitas digunakan untuk mengangkat yang termarginalkan, meningkatkan nilai-nilai universal yang belum tercapai, hal itu bukan menjadi masalah.
Hal senada juga disampaikan pembicara lain, Siti Ruhaini Dzuhayatin, Staf Khusus Presiden bidang Keagamaan Internasional. Menurutnya, disrubsi media sosial sangat luar biasa, semua orang bisa menjadi narasumber.
“Setiap orang bisa bebas bicara soal agama, dan kebenaran di ruang publik. Media mainstream punya filter, beda dengan media sosial,” jelas Siti Ruhaini.
Untuk itu, katanya, ini menjadi tantangan untuk melakukan redifinisi, dan merekonstruksi ruang public. Jurnalis punya peran sebagai jembatan. Namun dia harus memiliki literasi beragama lintas budaya.
Soal toleransi yang mengalami pasang surut, diperlukan adanya kerjasama antara lembaga keagamaan dengan media, sesuai dengan porsinya masing-masing. Moralitas dalam pemberitaan juga menjadi hal yang perlu diperhatikan dalam rangka mewujudkan partisipasi media dalam mewujudkan toleransi. /fsp