Oleh: Pnt. Johnny F. Tamaela, Ketua IV GPIB Bethel Bandung
KUNJUNGAN wisman dan mahasiswa dari berbagai Perguruan Tinggi ke GPIB Jemaat Bethel di Jalan Wastukancana Bandung seringkali dikaitkan dengan nama arsitek bangunan gereja, Profesor Charles Prosper Wolff Schoemaker (1882-1949).
Gedung gereja GPIB Bethel Bandung belum 100 tahun usianya. Dibangun di depan Pieters Park (sekarang Balaikota Bandung) dan termasuk bangunan muda dibandingkan beberapa bangunan gereja GPIB lainnya.
Beruntunglah saya sering mendapatkan kesempatan mendampingi mahasiswa, dosen dan bahkan wisatawan mancanegara dalam setiap kunjungan mereka ke GPIB Bethel.
“Bangunan gereja ini sudah berapa tahun usianya?,” tanya salah seorang mahasiswa pada suatu kunjungan ke GPIB Bethel.”
“Bangunan ini pasti masuk dalam daftar cagar budaya,” kata salah seorang dosen. “Dapat bantuan dana pemeliharaan dari pemerintah?, lanjutnya.”
“Suatu kali seorang mahasiswa UIN Sunan Gunung Jati Bandung bertanya, “GPIB itu singkatan apa?”
“Saya merasa perlu datang karena bangunan ini memiliki gaya arsitektur Art Deco,” itu yang paling sering dikatakan mahasiswa jurusan arsitek.
Sementara wisatawan yang berkunjung punya pertanyaan lain, “Mengapa banyak bangunan gereja milik GPIB berada di pusat kota besar di Indonesia?”
“Wah, senang sekali melihat nama opa saya masih tertulis di papan nama Pendeta gereja ini,” kata cucu Ds. (Pdt) Dr J.C. Pool yang secara khusus datang dari Belanda.
Uniknya, hanya 3 persen dari pengunjung yang datang mendadak sadar, bahwa GPIB Bethel Bandung tidak memiliki simbol salib. Hal itu baru mereka akui ketika sudah berada di dalam gedung gereja.
“Dari luar kami tidak melihat simbol salib seperti biasanya terdapat pada banyak bangunan gereja. Di dalam gedung gereja pun rupanya tidak ada simbol salib,” kata mereka. “Apakah salib di GPIB Bethel memang dihilangkan?,” lanjut mereka yang penasaran.
Dingin Bahkan Angker
KETIKA ditahbiskan pada 1 Maret 1925, nama gereja masih lah disebut “de Nieuwe Kerk”, atau dalam Bahasa Indonesia “Gereja Baru”.
Disebut demikian karena gedung rancang-bangun Schoemaker ini menggantikan bangunan gereja kecil untuk kegiatan zending di lokasi yang sama oleh NZV (Nederlandsche Zendings Vereeniging) sejak 1870. NZV kemudian mendatangkan Pendeta pertama mereka di Bandung, yakni Ds. (Pdt.) J.F.N. Brouwer tahun 1885.
Jumlah jemaat yang meningkat mendorong sidang jemaat 1916 memutuskan pembangunan gedung gereja baru yang ditandai peletakan batu pertama awal Juli 1924.
Sepintas lalu daya tarik gedung gereja GPIB Bethel hanya pada gaya bangunan yang dipilih Prof. C.P Wolff Schoemaker — mantan rektor ke-7 Technische Hogeschool te Bandung (sekarang ITB) — yakni Art Deco.
Saya bukanlah seorang arsitek yang memahami secara mendalam gaya bangunan Art Deco. Tetapi dari pengalaman berulangkali ikut ibadah di gereja-gereja pada beberapa negara Eropa, kesan bersahabat sangat kental pada saat kita masuk gedung gereja GPIB Bethel di Bandung.
Bangunan gereja tinggi, megah, keren, anggun, kaku dan berwibawa serta sakral dengan menara tinggi dan tembok batu yang terkesan dingin bahkan angker tak terasa jika kita masuk GPIB Bethel Bandung.
“Salah satu ciri Art Deco yang bisa langsung kita rasakan adalah betapa kita menyatu dengan bangunan. Kita tidak perlu merasa kecil ketika masuk bangunan berciri Art Deco,” kata salah seorang dosen Jurusan Arsitektur ITB yang berkunjung ketika memberikan gambaran sederhana tentang Art Deco.
Semua dimulai dari Pameran Bangunan Internasional di Paris 1925, beberapa saat setelah PD I berakhir. Gaya Art Deco dominan hanya sekitar 2 dekade, namun bekasnya masih tampak salah satunya pada bangunan Empire State Building di Kota New York.
Disebutkan, Art Deco memunculkan bangunan geometris, seimbang, simetris, memiliki lengkungan dan kebanyakan beratap datar.
Namun ketika menggambar rancang bangun “De Nieuwe Kerk”, Schoemaker yang tidak minta bayaran melangkah lebih jauh. Dia menggabungkan atap bangunan berbahan sirap dengan atap bergaya joglo. Dia ingin bangunannya merakyat.
Tidak berhenti di situ, Schoemaker — sebelumnya sudah membangun Gereja Katedral Bandung, Sociëteit Concordia (sekarang Gedung Merdeka), Villa Merah, De Majestic Braga, Landmark Convention Hal, Kantor PLN Asia Afrika dan belakangan Villa Isola, Hotel Preanger, Observatorium Boscha serta Mesjid Cipaganti – melengkapi rancang bangun “De Nieuwe Kerk” dengan gagasan simbolisasi Iman Kristen.
Tiga tingkap atap gereja yang mengingatkan Trinitas ditampilkan persis di atas lampu yang melambangkan mahkota pemenang menyambut kita sebelum masuk gedung gereja.
Lima anak tangga di pintu utama sebagai simbolisasi lima batu yang disiapkan Daud ketika menghadapi Goliath. Ini gagasan Schoemaker, bahwa masuk ke Rumah Tuhan pun sesungguhnya memerlukan perjuangan, bahkan pertempuran berat.
Schoemaker juga merasa perlu — di atas pintu masuk utama — mengingatkan kutipan ayat Alkitab dari Wahyu 3:22, QVI HABET AVREM AVDIAT QVID SPIRITVS DICAT ECCLESIIS (“Siapa bertelinga, hendaklah ia mendengarkan apa yang dikatakan Roh kepada jemaat-jemaat”).
Mimbar yang diletakkan lebih tinggi dari kursi jemaat melambangkan Firman Tuhan yang menyapa umat manusia. Kanopi di atas mimbar juga dibentuk ibarat tangan yang memberkati, sebagai simbolisasi Tangan Tuhan yang memberkati umat Nya.
Lampu gantung besar di tengah gedung merupakan lambang penyertaan Tuhan sebagai “tiang awan” pada saat terik matahari dan “tiang api” di kegelapan malam.
Schoemaker memastikan jumlah 10 lubang angin di kiri dan kanan gedung gereja sebagai simbolisasi 10 Perintah Tuhan yang diberikan melalui Musa.
Di atas lubang angin tersebut terdapat masing-masing lima jendela – sebagian berbentuk semi sirkular – yang melambangkan lima luka Yesus di kayu salib (luka di kaki kanan dan kiri, di tangan kanan dan kiri serta luka di lambung).
Dan lengkungan gaya Art Deco diadaptasi dengan manis oleh Schoemaker dengan bentuk lengkungan busur pada empat sisi atas bagian dalam bangunan gereja.
Lewat bentuk busur itulah, sang arsitek menyajikan simbolisasi pelangi, sebagai janji keselamatan Tuhan yang diberikan kepada Nuh, pasca air bah.
Jika jemaat melihat ke atas, pada empat sisi dinding bagian plafon terdapat masing-masing 11 lubang. Ini adalah simbolisasi 11 murid tersisa yang melihat ke atas pada peristiwa kenaikan Tuhan Yesus.
Dari kursi jemaat kita bisa melihat orgel pipa di bagian atas belakang mimbar. Orgel pipa dengan sistem pnemumatik ini memiliki desain dan lengkungan sedemikian rupa sehingga bayangan lampu yang dihasilkan pada plafon di atas orgel akan membentuk bayangan dua sayap.
Lewat bayangan sayap yang tercipta itulah suara orgel dilambangkan sebagai kidung Malaikat yang datang dari tempat yang maha tinggi.
Lantas benarkah Schoemaker melupakan salib yang menjadi ciri utama gereja? Futuristis kah Schoemaker sehingga perlu menghilangkan salib sesuai dengan situasi yang dihadapi gereja masa kini?
Sama sekali tidak, sebaliknya dia memastikan bentuk salib di gedung gereja GPIB Bethel Bandung akan tampak jelas jika kita melihat gedung dari atas.
Bentuk bangunan gereja tanpa kasat mata sudah merupakan salib, dimaknai sebagai Kristus menjadi dasar dan sentralitas kehidupan jemaatNya.
Pada empat sudut bagian dalam gedung ada 12 pilar — masing-masing 3 pilar di setiap sudut bangunan bagian dalam — melambangkan pekerjaan Tuhan yang sejak awal ditopang oleh ke-12 murid Yesus.
Pada masa lalu, salah satu pilar di bagian dalam gedung gereja sengaja diwarnai hitam, khusus untuk mengingatkan kita pada Yudas Iskariot.
Itu semua, membuat tamu yang mengunjungi gedung gereja GPIB Bethel seakan bisa merasakan pesan lewat simbolisasi yang berbicara dalam diam.
Pada saat yang sama bisa kita membayangkan betapa nyaman serta “enjoy” nya Schoemaker ketika mengerjakan rancang-bangun “De Nieuwe Kerk” yang kini kita kenal sebagai GPIB Bethel Bandung. Pertanyaannya, sekadar kehebatan dan kejelian Schoemaker kah?
Begitu masuk dan duduk di bangku jemaat, kita kemudian menyadari sulitlah mengenyampingkan campur tangan Tuhan pada saat Schoemaker bekerja. Terutama ketika dia merasa perlu menekankan simbolisasi pada karyanya yang kemudian meninggalkan pesan sangat kuat kepada jemaat.
Dua tahun lagi — saat berusia 100 tahun — ini bukan lagi soal gedung gereja belaka. Kita harus menjawab pertanyaan, apa hasil nyata keberadaan “De Nieuwe Kerk” dan GPIB Bethel Bandung di tengah masyarakat Kota Bandung? ***