BANTEN, Arcus GPIB – Ketua BP Mupel Banten, Pdt. Alexius Letlora, D.Th meminta jemaat di Mupel Banten untuk berpikir maju dan tidak ketinggalan dalam menyikapi setiap tantangan yang dihadapi sembari mencari solusi yang diperlukan dalam pelayanan.
“GPIB selalu ketinggalan. Orang lain sudah sampai di bulan kita masih bicara soal-soal batas wilayah, masih bicara soal pemilihan diaken penatua,” ungkap Pdt. Letlora dalam Sidang Tahunan Mupel Banten di GPIB Yudea, Sabtu (19/3).
Kaitan dengan pemilihan diaken dan penatua harus ada satu kebersamaan soal pemikiran yang mendasar bukan hanya soal wilayah, karena kalau soal peta sudah tabrakan kemana-mana. Kalau mau bertahan yang terjadi adalah suasana yang kontraproduktif.
“Soal batas wilayah hendaknya menjadi pemabahasan bilateral antar jemaat. Presbiter pun harus selalu membangun perhatian bagi Keluarga sehingga pemilihan Diaken Penatua dapat melengkapi kebutuhan spiritual Keluarga di era digital ini. Minimalism Digital adalah jawaban untuk memenuhi kebutuhan era digital,” kata Pendeta yang punya spesialisasi keilmuan Teologi Keluarga ini.
Diluaran sana, kata Pdt. Letlora, orang sudah ramai bicara soal gereja metaverse: “Apa sikap Mupel Banten mencermati ini,” tanya Ketua Majelis Jemaat GPIB Filadelfia Bintaro ini. “Kita harus move on, kita perlu lebih bergerak yang memungkinkan gereja ini tidak terjebak pada persoalan-persoalan klasik yang memenjarakan panggilan dan pengutusannya.”
Karena itu, budaya digital haruslah menjadi seuatu yang dilihat untuk menyuburkan partisipasi publik, memperbaiki kehidupan. Dalam konteks inilah gereja membutuhkan gerak literasi yang bijak.
“Yang harus bertobat bukan cuma kepala dan pikiran. Sekarang ini yang harus bertobat jari. Karena jari-jari itulah akan muncul disegala media sosial yang kemudian membawa Bahasa-bahasa yang tidak kristiani dan menjadi Bahasa yang destruktif.”
Dikatakan, pelayanan harus didasarkan kepada cinta, bukan karena kewajiban, atau karena kebutuhan.
“Pelayanan kita bukan karena kewajiban, pelayanan kita bukan karena kebutuhan, pelayanan kita bukan karena cinta. Hanya kepada cintalah kepada yang kita cintai dan menyatu dengan yang dicintai maka kewajiban dan kebutuhan melebur dalam cinta itu,” tutur Pdt. Letlora.
Maka dalam konteks itulah, kata Pdt. Letlora, maka sosok Yesuslah yang harus dihadirkan dalam setiap pelayanan yang dilakukan bukan diri personal seseorang.
Ia juga meminta pelayan tidak terkendala dan menjadi masalah hanya karena uang. “Jangan karena uang lalu pelayanan itu tidak jalan,” paparnya.
Dalam pelayanan, katanya, diperlukan model kepemimpinan yang hadir dalam kebersamaan tanpa hanyut oleh ketidakbenaran. Tapi yang paling fundamental itu adalah soal cerai.
“Aliran saya adalah teologi keluarga, pembohongan besar kalau kita khotbah-khotbah tapi keluarga sendiri berantakan. Saya pikir ini subtantif ini. Apa artinya kalau kita hadir sebagai presbiter lingkup pendeta, penatua, diaken tetapi tapi sebenarnya kita tidak mampu.”
“Orang lihat contoh teladan dalam keseharian kita yang mestinya dilihat sebagai khotbah yang hidup. Mupel harus bersama-sama mendorong hal ini. Dalam konteks perhatian kita menukik pada soal-soal keluarga.” /fsp