JAKARTA, Arcus GPIB – Diskusi-diskusi dalam Festival Toleransi yang digagas Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) di Galeri Nasional Indonesia, Rabu 04/09/2024 sangat menginspirasi.
Tiga narasumber yang peduli soal-soal toleransi beragama di Indonesia menguatkan bagaimana seharusnya bersikap sebagai individu ditengah masyarakat yang beragam agama dan etnik.
Mereka adalah Henny Supolo dari Yayasan Cahaya Guru, Lily Tjahjandari UI dari Sekolah Toleransi, Michael Adi Kusuma S.Pd Guru SMA Kolese Kanisius.
Peserta Festival Toleransi yang memenuhi aula di Galeri Nasional di Jalan Medan Merdeka Timur Jakarta tekun mendengarkan pemaparan hingga tuntas. Bahkan saat ada kesempatan berdiskusi peserta tak menyia-nyiakan kesempatan yang ada.
Henny Supolo, misalnya, dalam kesempatan itu menceritakan bagaimana harus bersikap ditengah-tengah berbagai atau beragam agama yang ada di Indonesia kaitannya dengan toleransi.
Dalam forum yang dimoderatori Muhammad Darraz dari PP Muhammadiyah, Henny senang dengan agama-agama lokal yang ada di Indonesia yang menurutnya agama-agama lokal yang tidak ekspansif.
Catatan Arcus GPIB mengutip Kompasiana.com menyebutkan, orang suku Sakai di Riau memeluk agama lokal, yang seringkali direndahkan karena kepercayaannya yang masih animisme atau masih mempercayai makhluk halus dan roh, meskipun sudah ada di antara mereka yang masuk kedalam agama Islam.
Sementara Lily Tjahjandari menguarai soal tulisan-tulisan dalam kitab suci antara lain ada bible yang ditulis dalam bahasa peggon yang ditulis dalam aksara Arab tapi buka bahasa Arab.
“Yang menarik lagi ada alquran yang ditulis dalam bahasa Jawa wonocoroko, ini saksi sejarah. Ini pertemuan masa lalu yang medianya sendiri pinjam sana-sini juga. Jadi untuk apa kita ekslusif, orang kita juga pinjam sana-sini,” tutur Lily.
Sehari sebelumnya, dalam diskusi menghadirkan Yudi Latif Cendekiawan Muslim yang mengatakan, Indonesia adalah tanah yang sudah diolah berbagai peradaban ada Melanesia, Austronesia, Melayu, Cina, Sinisasi, Indianisasi, Persia, Arab, dan Eropa. Semua peradaban ini telah masuk ke Nusantara.
Soal Bhinneka Tunggal Ika, kata Yudi adalah satu kode penyatuan keragaman Nusantara. Jadi berbagai masyarakat memiliki cara sendiri bagaimana bisa Menyelesaikan masalah kemajemukan. Dalam Bhinneka Tunggal Ika ada pengakuan keberagaman dan pengakuan hakekat kesamaan. “Kita raham agama, ragam etnis, ragam budaya, ragam hirarki sosial. Itu fakta kita,” tandas Yudi.
Sementara Bhante Dhammasubho dari Sangha Theravada Indonesia dalam kesempatan itu mengatakan, untuk hidup dalam kebersamaan perlu memiliki prinsip hidup kepedulian yang baik terhadap sesama.
“Harus hidup senang bila melihat orang lain senang. Karena ada orang yang senang melihat orang susah. Itu gangguan jiwa,” kata Bhante Dhammasubho. Yang paling ideal adalah senang melihat orang lain senang.
“Saya itu taat hukum, selibat tidak menikah. Dari 24 jam saya hanya makan satu kali dan tanpa nasi. Saya jalani 40 tahun, kok bisa happy? Sementara orang lain makan berkali-kali, kalau beristri tidak cukup satu. Saya tidak beristri, happy. Apa yang membuat saya happy karena melihat orang lain happy,” imbuh Bhante Dhammasubho. /fsp