JAKARTA, Arcus GPIB – Situs Alkitabku.com menyebutkan, merasa bangga terhadap nilai-nilai atau tradisi kebudayaan sendiri adalah hal yang wajar. Namun jika menganggap hanya sukunyalah yang baik, sedangkan budaya orang lain dianggap rendah atau hina, maka itu adalah masalah serius.
“Ini yang disebut etnosentrisme. Kita mengukur segala sesuatu berdasarkan sudut pandang suku kita sendiri. Akibatnya, kita menjadi picik dan merasa benar sendiri,” lanjut Alkitabku.com, Selasa 17/10/2023 mengurai Firman Tuhan Kis. Pr. Rasul 10:1–36.
Sejak awal, Alkitab menekankan agar umat Allah peduli terhadap orang-orang asing. Juga bersikap ramah sebagai bagian dari kesaksian iman mereka. Bahkan Bait Allah dirancang dengan pelataran khusus bagi orang-orang asing untuk berdoa (2Taw. 6:32) sehingga disebut rumah doa bagi segala bangsa (Yes. 56:7; Mrk. 11:17).
Namun seiring waktu, bangsa Israel menjadi begitu eksklusif. Merasa diri paling hebat sebagai umat pilihan Tuhan. Padahal mereka sendiri tidak hidup menaati Allah.
Contoh pembatasan yang dilakukan bangsa Israel ialah tidak bergaul dengan orang bukan Israel. Tidak boleh masuk ke rumah mereka, apalagi makan bersama. Mereka memahami larangan-larangan Taurat secara kaku dan sempit.
Tradisi itulah yang juga dipegang oleh Simon Petrus. Maka Allah berulang kali memberinya penglihatan agar ia mengerti bahwa Allah mengasihi semua bangsa. Dia ingin mereka mengenal dan menaati-Nya.
Allah mengutus Petrus untuk mengabarkan Injil keselamatan kepada Kornelius dan orang bukan Yahudi lainnya. Syukurnya, Petrus bersedia menaati Tuhan. Kiranya kita juga rela membuang sikap etnosentris, serta bersedia membangun relasi yang dilandasi kasih Allah, agar dapat berbagi berita Injil kepada sesama. /fsp