JAKARTA, Arcus GPIB – Ketua II Majelis Sinode GPIB Pdt Manuel E. Raintung, S.Si, MM mengatakan, dunia sudah semakin kritis dan krisis terhadap nilai-nilai persaudaraan. Orang-orang hidup dan berjuang hanya untuk diri sendiri. Gaya hidup eksklusifitas muncul karena egocentris.
“Eksklusifitas kehidupan itu seringkali muncul karena egocentris. Segala sesuatu tertuju kepada diri sendiri. Apalagi saat ini ditengah-tengah era gadget yang membuat kita tidak mau tahu lagi dengan orang lain,” kata Pdt. Manuel Raintung dalam Ibadah Natal Sektor 26 GPIB Zebaoth Bogor, Rabu 05/01/2022.
Sekarang ini ada pola hidup eksklusif, pola hidup yang mementingkan diri sendiri, berorientasi kepada diri sendiri. Kalau pun ia mau menyapa orang lain, mau menegur orang lain, itu hanya kepentingannya saja atau mungkin juga karena basa-basi.
Dunia menjadi semakin kritis dan krisis terhadap nilai-nilai persaudaraan. Orang-orang saat ini hidup dan berjuang hanya untuk diri sendiri. “Kritis, orang berjuang untuk dirinya sendiri dan krisis orang-orang tidak mau lagi peduli dengan keadaan-keadaan sekelilingnya,” tandas pendeta yang juga Wakil Sekretaris FKUB DKI Jakarta ini.
Persaudaraan tidak bisa dibangun secara basa-basi dengan berbicara saja, tapi juga ada bukti nyata memberikan hidup, memperhatikan hidup orang lain. Gerakan peduli harus dibangun untuk melindungi orang lain itu juga harus didasarkan cinta kasih.
Dalam gerakan persaudaraan itu perlunya pemberian hati, pemberian hidup, harus tercermin. Membangun kehidupan bersama-sama, memberikan arti satu dengan yang lain sebagimana pengajaran Kristus yang mendatangkan kebahagiaan karena memberikan hidup bukan karena menerima.
Sebagaimana Kisah Rasul 20: 35 mengatakan lebih bahagia memberi dari pada menerima. Ini pikiran sebuah kenyataan yang jauh berbeda dengan pikiran orang-orang pada masa kini, yang menganggap bahwa yang lebih membahagiakan menerima bukan memberi.
“Inilah yang disaksikan oleh Tuhan Yesus. Bahwa cinta kasih Tuhan Yesus itu berorientasi dengan memberikan apa yang Ia punya. Bukan menunggu atau menanti adanya pemberian,” tutur Pdt. Manuel.
Jadi dalam hal ini yang dimaksudkan dengan cinta kasih Tuhan Yesus adalah cinta kasih yang karena memberi, berkurban, ketulusan, karena keihlasan, bukan semata-mata berorietasi karena ingin mendapatkan sesuatu.
“Cinta kasih itu penuh dengan pengorbanan, ketulusahan, keihlasan dalam hidup harus semakin nyata. Jangan berpikir wani piro, saya dapat apa. Kita tidak hanya hidup dengan percaya, tapi juga hidup sebagai murid, dan percaya dalam hubungan dengan murid, ia harus dapat membuktikan apa yang diyakini,” kata Pdt Manuel.
Gerakan persaudaraan harus dimulai dengan gerakan memberi. Memberikan hati ini, memberikan bukti diri ini. Sehingga persaudaran yang sejati ia tidak bisa ada karena hubungan darah saja, tapi walaupun tidak ada hubungan darah tapi ada hubungan yang saling memberi satu dengan yang lain.
Persaudaran yang sejati itu bukan hanya secara verbal, hanya bisa dikatakan atau dicitrakan, tapi ia harus bisa dimanifestasikan, diwujudkan dalam kehidupan orang-orang percaya.
Kalau dulu orang dalam melakukan aksi perbuatan nyata yang baik mereka mengatkan “Om, Tante apa yang bisa saya bantu” tapi mungkin sekarang ini gerakan ini menjadi berbeda.
Untuk hal yang sama maka yang terjadi “Om Tante, saya bisa dapat apa” jadi untuk berbuat baik pun kita masih mengharapkan sesuatu. Padahal cinta kasih Kristus itu orientasinya “Melepas” dan “Memberi”. /fsp