JEMBER, Arcus GPIB – Kentongan bambu menyemarakkan perhelatan Dept. GERMASA di Tanoker Jember, Jumat (22/11/2024). Sedikitnya 40 kentongan bambu bernbunyi nyaring lalu melambat dan nyaring lagi saat ditabuh berdasarkan instruksi dari seseorang yang bertindak sebagai pandu.
Kentongan bambu semakin membuat suasana kebersamaan makin terasa. Peserta menyatu dalam irama tabuhan bambu yang dibunyikan secara beraturan saat dipukul dengan anak bambu pada kentongan,
Semua melakukannya dengan baik. Ketua II MS GPIB Pendeta Manuel Raintung dan Sekretaris I Pendeta Emmawati Baule tampak bersemangat memukul-mukul kentongan sesekali tersenyum bangga mendengarkan irama-irama yang dihasilkan bambu.
Disisi lain Yoel Bener Toendan, Pengurus Dept. GERMASA juga dalam gairah bersemangat memukul-mukul kentongan bambu dan sesekali mengangkatnya dengan harapan bunyi semakin kencang terdengar.
Event Tanoker GERMASA yang digelar hari itu cukup banyak memberikan masukan berarti bagi peserta dalam menyikapi keragaman baik budaya maupun agama yang menghadirkan dua narasumber yakni Pendeta Boydo Hutagalung dan Penatua Alex Mandalika.
Mengurai materi yang disampaikan Ka. Dept GERAMASA Alex Mandalika berharap agar anak-anak muda memiliki ber karakter dan mau menempatkan moral dan etika yang baik dalam keseharian.
Ia mencontohkan dalam era digital ini, keluarga-keluarga satu dengan yang lain seakan terjauhkan oleh karena pengaruh kuat digitalisasi.
”Sama-sama duduk di meja makan, tapi satu dengan lainnya tidak saling bertegur sapa, sibuk dengan gadget di tangan,” tandas Penatua Alex.
Sementaa Pendeta Boydo Hutagalung, dalam kesempatan itu mengungkapkan, intoleransi berpangkal dari kebencian. Kebencian bisa berasal dari kebencian terhadap diri sendiri yang berakar dari trauma perlakuan yang didapat pada masa kecil: dianggap bodoh, jarang dipuji, jarang dipeluk, diabaikan, dimaki, dipukul. Akibatnya membenci diri sendiri.
Ia juga mengajak peserta Event Tanoker tidak membatasi diri sekadar bertoleransi.
Sikap toleransi dalam pergaulan di masyarakat sepertinya tidak cukup. Sebaiknya tidak hanya sekadar toleransi perlu lebih dari itu.
”Kita perlu melampaui sikap toleransi dan moderasi, yaitu kemauan berdialog lintas iman aktif melakukan dialog lintas iman, karena dengan dialog banyak prasangka dapat diklarifikasi, perselisihan dapat didamaikan, hal-hal baik dipelajari, dan banyak tantangan dapat diatasi bersama,” ujar Pendeta Boydo. /fsp