JAKARTA, Arcus GPIB – Gerak tari perempuan dengan kostum Nusa Tenggara Timur (NTT) mempesona memikat mata yang memandang saat memulai ibadah di GPIB Petra DKI Jakarta Utara, Minggu (27/08/2023). Langkah pasti seorang penari pria menghunus pedang semakin menambah kekentalan suasana etnik diiringi penari-penari perempuan nan cantik.
Tarian NTT pengiring pembukaan ibadah di gereja dengan Ketua Majelis Jemaat (KMJ) Pendeta Ferry Raintung semakin khusuk diiringi tabuhan genderang dan petikan alat musik khas NTT, Sasando.
Suasana khusuk semakin dominan manakala arak-arakan presbiter bertugas memasuki ruang ibadah membawa Alkitab oleh Penatua Suyanti Ludji dengan kostum NTT bercorak biru disusul Pendeta Ivan Dynamika Sikombong yang mengenakan topi adat suku Rote.
Catatan Arcus GPIB mengutip Gramedia.com, di provinsi NTT ada sekitar 7 suku, yaitu suku Sabu, Suku Helong, Suku Sumba, Suku Dawan, Suku Rote, Suku Manggarai, dan Suku Lio. Dengan adanya tujuh suku yang berbeda, tak heran jika NTT menjadi salah satu provinsi yang kaya akan kebudayaan. Salah satunya adalah beragam jenis pakaian adat dari setiap suku.
Ketua Pelaksana Ibadah Etnik NTT, Diaken Agustian Henukh mengatakan, sukses yang dicapai dari pelaksanaan ibadah etnik karena adanya Tim Kerja yang dibentuk walau dalam waktu yang sangat singkat, sekitar dua minggu.
“Kita juga bekerja sama dengan PHMJ bersama-sama membuat ibadah etnik NTT ini supaya dapat berjalan dengan baik.Dengan dukungan PHMJ dan teman-teman kerja kita akhirnya bisa berbuahkan seperti sekarang ini dengan tujuan untuk lain mempererat warga jemaat NTT yang di jemaat di Jakarta, khususnya di GPIB Petra,” kata Agustian.
Menurutnya, capaian dari terselenggaranya ibadah etnik ini terbentuk kekeluargaan yang sangat besaar sekali karena diketahui di NTT ini ada tiga pulau besar yakni Pulau Sabu, Pulau Flores dan Pulau Timor.
“Dengan semangat kita untuk menjalin persatuan kebersamaan dengan warga NTT dan sekitarnya kita bisa melaksanakan ibadah etnik ini dengan sukses. Itu semua bukan kekuatan kita tapi saling memahami,” imbuh Agustian.
Sukses pelaksanaan juga tidak lepas dari sentuhan spirit Pendeta Roberth Marthin yang akrab disapa Romo ini. Tak heran kalau dalam keseharian ia sering disapa Sang Sutradara karena telenta seni peran yang cukup dipunyai.
Usai ibadah etnik dilakukan penjualan berbagai hasil bumi NTT dan penjualan berbagai hasil tenun NTT dari selempang hingga kain tenun.
/fsp