JAKARTA, Arcus – CUKUP banyak gereja/jemaat yang dimiliki GPIB tersebar di 26 Mupel. Ada jemaat yang besar, ada yang kecil. Jemaat besar dapat dipastikan akan mampu mengurus dirinya karena mampu “mendanai” pelayanannya.
Bagaimana jemaat kecil? Jemaat kecil dapat dipastikan terseok-seok karena minimnya dana yang dimiliki. Ide penyatuan (Unifikasi) disebut-sebut menjadi solusi agar jemaat bisa semakin kuat baik teologi, daya dan dana.
Model penyatuan atau penggabungan itu, misalnya, dalam satu Mupel ada 10 gereja/jemaat, 4 diantaranya sangat kuat sementara 6 lainnya megap-megap mendanai pelayanannya diarahkan untuk bergabung dengan jemaat yang kuat, atau ke-6 jemaat ini disatukan/digabung.
Hasil penggabungan berarti ada gedung gereja yang tidak terpakai lagi. Contoh, bila 6 jemaat disatukan berarti ada lima gedung gereja yang kosong karena sudah melebur atau menyatu. Dari lima gedung gereja ini dapat diberdayakan menjadi tempat-tempat usaha atau perkantoran yang disewakan ke publik. Ini akan menjadi pendapatan lain-lain yang jumlahnya tidak sedikit.
Unifikasi bisa juga berarti perampingan yang bisa mengatasi kekurangan dana dan pendeta di GPIB yang saat ini dirasakan. Harapannya dari unifikasi ini akan meningkatkan kualitas jemaat itu sendiri termasuk pendeta-pendetanya, baik dari sisi finansial maupun kualitas pelayanan yang pada akhirnya akan ada value dari Jemaat, baik persembahan maupun persepuluhan.
Menyikapi pendapat tersebut, Pdt. Dr. B. L. Padatu, M.Th, MPA, M.Ak, Staf Pengajar STT intim Makassar sangat tidak setuju.
“Ide unifikasi merupakan gagasan yang terkesan belum memahami dengan baik arti gereja dan persekutuan serta administrasi gereja yang baik. Harapan Saya gagasan tersebut didelete (dihapus, red),” tegas Pdt Padatu kepada arcus.
Menurutnya, gagasan penyatuan atau penggabungan sangat kuat mengarah pada konsep pemberdayaan BUMG (Badan Usaha Milik Gereja). Gereja punya mekanisme pembiayaannya sendiri dengan keuntungan sistemik. Tidak dijelaskan, keuntungan sistemik seperti apa.
Gereja kelas menengah bisa mendanai pelayanannya hingga Rp5 – 6 miliar/tahun. Artinya ada potensi saving termasuk investasi yang bisa dilakukan di capital market, money market atau crypto currency?
Menjawab pertanyaan itu, peraih S-3 Manajemen dan Kebijakan Publik, Fak. Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, UGM Yogyakarta 2009 ini tegas menolak gereja yang terlibat dalam kegiatan investasi untuk membiayai pelayanannya.
“Gereja tidak perlu masuk ke ranah investasi. Kelola saja dananya untuk menopang pelayanan yang lebih maksimal. Jangan cemas akan hari esok,” imbuh Pdt Padatu.
Praktisi Keuangan Steven G. Tunas Tunas mengatakan, fungsi gereja bukan hanya pastoral, bukan hanya membimbing, menguatkan tapi juga membebaskan dan memberdayakan secara ekonomi, (Arcusgpib.com, 5 Sept 2021).
Soal unifikasi gereja-gereja yang cukup banyak dengan kemampuan pendanaan yang berbeda, Pnt. Steven Tunas membenarkan hal itu. Artinya, penggabungan bisa saja dilaksanakan. “Betul skali Bro,” papar Direktur ABC Future Indonesia yang juga warga jemaat dan PHMJ GPIB Kinasih, Ciputat, Tangerang ini.
Hanya saja, kata Steven, penggabungan harus berhati-hati dan dilakukan selektif sembari melihat kondisi wilayah dari jemaat-jemaat yang ada.
“Cuma kita tetap harus sangat selektif dalam penggabungan ini. Karena ada alasan-alasan wilayah, jarak, penyebaran dan tentunya makin berkembang dan dekatnya pelayanan, saat memutuskan pelembagaan atau pos pelkes baru,” imbuhnya. /fsp