BANDUNG, Arcus GPIB – Ketua Mupel Jabar 1 Pendeta Ny. M. Nanlohy-Latupeirissa, M. Si mengajak warga jemaat untuk tidak alergi dengan politik tapi mau mengambil bagian dalam ajang demokrasi sebagai bentuk tanggung jawab bernegara.
”Memasuki Pilkada, jangan sampai generasi muda kita golput. Oleh sebab itu kalau GPIB melakukan pendidikan politik supaya kita tidak lagi alergi tentang politik,” tandas pendeta yang akrab disapa Pendeta In Nanlohy.

Peserta tuntas menyelesaikan Semiloka di GPIB Sejahtera Bandung.

Narasumber Jeirry Sumampouw bersama sebagian peserta Semiloka.
Ia juga mengajak warga jemaat untuk sesering mungkin menyempatkan waktu mendengarkan suara Tuhan agar dapat bersikap bijak dan kritis di masyarakat.
”Jangan sampai kita lebih banyak bicara dan kita kehilangan kesempatan memberikan waktu untuk Tuhan berbicara,” kata Pendeta Pendeta In saat menyampaikan renungan di Ibadah Minggu (27/10/2024) dan pembukaan Semiloka Germasa “Gereja dan Demokrasi” yang digelar Dept. Germasa di GPIB Sejahtera Bandung.

Pdt. Ny. M. Nanlohy-Latupeirissa, M. Si
Menurut Pendeta In, hanya dengan sesering mungkin mendengarkan suara Tuhan, seseorang baru bisa melakukan dan menyatakan suara kenabian bagi sesama dan dunia.
“Bagaimana kita akan menyatakan suara kenabian kita ditengah-tengah tantangan hidup yang luar biasa kalau kita tidak punya waktu dan memberikan telinga mendengarkan Tuhan berbicara,” tandas Pendeta In.
Dalam kesempatan itu, Pendeta Dr. Victor Rembet dari Gereja Baptis mengatakan, demokratisasi bukan politics of power tapi Genus baru Masyarakat Sipil atau agama-agama.
Demokrasi, kata Victor, harus dimulai dari internal identitas atau agama masing-masing. Agama dan Masyarakat Sipil dituntut keberpihakan ke isu material, sosial politik, dan ekonomi.
“Demokrasi mungkin akan sulit mati dalam hidup mereka yang tertindas, namun demokrasi akan mudah membunuh dirinya sendiri dalam perilaku mereka yang berkuasa,” kata Victor mengutip apa yang pernah disampaikan Th. Sumartana.
Dikatakan, agama-agama dalam ruang negara memiliki enerji transformatif mendemokratisasikan negara.
Agama menjadi referensi utama dalam masyarakat untuk menjadi acuan kehidupan, belum ada referensi pengganti bagi agama. Sebab itu bisa dikatakan bahwa belum ada cara lain untuk melihat perubahan yang diperlukan jikalau tidak dihubungkan dengan agama.
Aktifis Dialog Lintas Iman, Wawan Gunawan dalam kesempaan yang sama mengatakan, agama punya peran dalam penguatan demokrasi dan mengatasi polarisasi sosial. Caranya, kata dia, adalah dengan mengatasi Politik Kekuasaan menjadikannya sebagai Politik Kebangsaan dan seterusnya menjadi Politik Kerakyatan dan melakukan penguatan Gerakan Sipil.
Ia menyarankan lembaga keagamaan bukan tidak berpolitik, tetapi memilih politik kebangsaan. Karena harus ada pemersatu dalam polarisasi dan melakukan penyelerasan narasi agama dan kebangsaan menuju implementasi universal agama untuk kemanusiaan, keadilan, dll.
Selain itu, perlunya menempatkan agama sebagai fasilitator dialog dalam rangka mengembangkan teologi terbuka atau paradigma baru hubungan antaragama, melakukan Studi Kawasan dan mengembangkan Sejarah lokal dan membangun pertemanan, ketetanggaan, kultur yang kuat. /fsp