Home / Diakonia

Kamis, 24 Februari 2022 - 22:54 WIB

Pra Orasi Ilmiah Prof. Dr. Ir. Rilus A. Kinseng: Ada Ketidakadilan  

JAKARTA, Arcus GPIB – Kehidupan nelayan di Indonesia identik dengan ketertinggalan. Akibatnya kehidupan kaum penjala ikan ini secara strata sosial selalu tertinggal bila dibandingkan dengan strata sosial lainnya. Ketertinggalan secara ekonomi sangat jelas terlihat, walau diakui memang ada yang hidup mentereng dari hasil tangkapan.

“Nelayan masih berada sebagai kelompok tertinggal yang sebagaian besar adalah nelayan kecil. Dan sayangnya bahwa di negeri kita ini nelayan kecil itulah yang dominan,” ungkap Prof. Dr. Ir. Rilus  A. Kinseng, M.A saat berbicara dalam Konferensi Pers Pra Orasi Ilmiah para Guru Besar IPB University Kamis (24/2).

Presbiter GPIB Zebaoth Bogor ini cukup peka melihat ketidakadilan yang terjadi pada nelayan-nelayan kecil yang masih berada dibawah garis kewajaran hidup yang jumlahnya cukup banyak dan dominan.

“Untuk ketidakadilan itu, saya kira ketidakadilan ekonomi dan sosial itu jelas. Disparitas antara kaya dan terbelakang masih tinggi apalagi dibandingkan dengan strata lainnya banyak yang sangat memprihatinkan,” tutur pria kelahiran Balawa, Kalteng ini.

Namun, katanya, dibeberapa tempat ada juga nelayan mentereng.  Hidup dengan kemewahan, rumah bertingkat dengan segala fasilitas modern dilengkapi dengan  sistem pengamanan yang maksimal seperti yang dialami nelayan cantrang.

“Jangan salah, nelayan cantrang di Pati dan Tegal itu banyak yang kaya. Ada yang rumahnya bertingkat naiknya pakai lift dilengkapi CCTV. Ketika kami penelitian disitu untuk wawancara dengan orang yang kaya raya itu susah sekali.  Tapi itu segelintir,” tandas Prof. Rilus.

Mengatasi ketertinggalan nelayan kecil ini, Kepala Divisi Sosiologi Pedesaan dan Pengembangan Masyarakat, Departemen SKPM IPB ini mengusulkan agar nelayan kecil ini memiliki alat tangkap yang besar.

Baca juga  Anda Mengalami Kekerasan Seksual, Jangan Takut Laporkan Saja: Ini Caranya

“Pendapatan nelayan sangat ditentukan oleh alat tangkapnya. Nelayan kecil ini bisa diangkat dan naik kelas dan menjadi nelayan yang lebih besar sehingga mampu menangkap ikan di daerah-daerah offshore, jangan hanya inshore di pesisir,” kata Prof. Rilus.

Nelayan kecil ini, kata Prof. Rilus, juga bisa ditolong misalnya dengan budi daya dan tidak sekadar mengandalkan penangkapan. Selain itu perlu ada kebijakan untuk mengangkat kelas kecil itu.

Menurutnya, ketidakberesan sosial yang memicu konflik-konflik sosial itu berkaitan dengan tiga isu utama yakni livelihood atau sumber penghidupan, justice atau keadilan sosial, dan dignity atau martabat. Konflik-konflik pada komunitas nelayan dan pedesaan sema ini kebanyakan dipicu oleh masalah livelihood.

Konflik dan perubahan sosial merupakan dua fenomena sosial yang telah ada setua eksistensi umat manusia itu sendiri. Keduanya merupakan bagian dari kehidupan manusia sebagai mahkluk sosial yang berinteraksi satu dengan yang lain.

“Dari hasil riset kami, saya mengemukakan imagined deprivatio theory. Teori ini intinya mengatakan bahwa gerakan dan konflik sosial bisa dipicu bukan hanya oleh kondisi keterbelakanagan atau kesengsaraan yang riil seperti dalam deprivation theory, melainkan karena imaginasi akan terjadinya kemiskinan.

Perlu dipasttikan agar proses perubahan sosial tidak menyebabkan lenyapnya sumber penghidupan, muncul atau langgengnya ketidaadilan sosial, serta pelecahan terhadap martabat warga komunitas nelayan dan pedesaan. Hal itu justru akan memicu konflik sosial.

Oleh sebab itu, proses perubahan sosial ini tidak boleh dibiarkan berjalan sendiri secara liar, melainkan perlu “dikelola” secara hati-hati dan cermat. Pada titik ini, maka Negara perlu hadir dan menjalankan fungsinya sesuai mandat dan amant UUD 45 dan Pancasila.

Baca juga  Bupati Sangihe Jabes Gaghana Kembali Hadir Dalam Pertemuan Dengan Tim Baksos Yadia GPIB

Menyinggung kasus kekerasan yang terjadi di Wadas, Jawa Tengah, Head of Knowledge Production Division, CTSS IPB ini menyesalkan terjadinya kekerasan saat penanganan disana.

“Menurut saya, kita harus mengutamakan musyawarah dialog. Transparansi penting ketika pemerintah transparan, apa tujuannya seperti di Wadas itu. Apa sih tujuannya dan seterusnya. Jadi tidak perlu dipaksa-paksa untuk waktu yang sesingkat-singkat seperti itu,” katanya.

Jadi, kata Prof. Rilus, harus ada dialog yang terbuka, equal, menciptakan public spears, dimana terjadi communicative action saling mendengarkan masyarakat lokal, dignity mereka harus dihargai.

“Kita harus merujuk pada Pancasila. Itu artinya kita mengutamakan non violence, pendekatan yang menyelesaikan tidak dengan kekerasan. Sayangnya, sekarang ini banyak dengan kekerasan, misalnya dengan alat negara itu terjadi, di sawit pun terjadi,” tandasnya. /fsp

BIODATA

Nama : Prof. Dr. Ir. Rilus A. Kinseng, M.A
Tempat dan tanggal lahir: Balawa (Kaiteng), 6 Mei 1959

Pendidikan:
Sarjana (S1) Jurusan Penyuluhan Pertanian dari Departemen Sosial Ekonomi Pertanian Faperta IPB. Magister (S2) Sosiologi dari Dept. of Sociology and Anthropology, University of Guelph, Canada Doktor (S3) Sosiologi dari FISIP Universitas Indonesia.

Diploma program “Training In Rural Extension and Teaching”, di Larenstein International Agricultural College, Deventer, The Netheriands.

Jabatan:
Kepala Divisi Sosiologi Pedesaan dan Pengembangan Masyarakat, Departemen SKPM, Fera IPB (2021-sekarang),

Head of Knowledge Production Division, CTSS IPB (2019 – sekarang).

Share :

Baca Juga

Diakonia

PDP Batch 3 untuk Tingkatkan Kemampuan Berpikir Kritis Pendeta

Diakonia

Rapat Panitia Baksos YADIA Pastikan Jadwal Berangkat Ke Sangihe

Diakonia

YADIA GPIB Berbelas Kasih Tanpa Amnesia, Terus Membantu Sesama

Diakonia

Bantuan GPIB Ke HKBP, Ephorus HKBP: Menguatkan Persaudaraan, Pdt. Johny Lontoh: Tanda Empati

Diakonia

Pendeta Berbisnis, Mungkinkah? Pdt. Johny A. Lontoh: Jangan Hanya Di Mimbar

Diakonia

Wamenag: Mahasiswa Harus Jadi Katalisator dan Dinamisator Moderasi Beragama

Diakonia

YADIA GPIB Bertandang Ke Panti Asuhan Zebaoth, Empati Humanis

Diakonia

Pdt Ebser M. Lalenoh M.Th, Lugas Nan Tegas, Mitranya Menyebutnya Panser Di Medan Perang